Sebagian orang bergembira ketika memasuki bulan Muharram, karena tahun baru tiba dan usia telah dipanjangkan. Tapi ada pula yang memasukinya dengan duka nestapa, karena cucu Baginda Nabi tercinta dinistakan di hari Asyura. Kami menurunkan beberapa jawaban atas pertanyaan seputar syahadah Imam Husain as dan asyura. Diterjemahkan oleh Mustamin al-Mandary dari The10day
Siapakah Imam Husain as as?
Imam Husain as adalah cucu dari Nabi Muhammad Saw. Orang tuanya adalah Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as. Ia lahir di kota suci Madinah pada tahun 626 Masehi. Beliau berusia enam tahun ketika Nabi Muhammad Saw wafat, dan ia berusia tujuh tahun ketika ia menyaksikan kematian tragis ibunya, Sayyidah Fatimah as. Imam Husain as diakui sebagai seorang tokoh penegak keadilan, kukuh pada keyakinan, memegang teguh martabat, dan pejuang kemerdekaan yang memimpin salah satu revolusi yang paling signifikan di dalam sejarah manusia. Dia mengorbankan hidupnya, kehidupan anggota keluarga dan sahabatnya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Pada tahun 680 Masehi, ia secara brutal dibantai di dataran Karbala, Irak, bersama dengan tujuh belas anggota keluarganya dan lima puluh lima sahabatnya. Sepanjang sejarah, Imam Husain as telah mengilhami jutaan orang untuk melawan penindasan dan bekerja keras untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Setiap tahun, pada hari ulang tahun syahadahnya, tepat di hari kesepuluh Muharram dalam kalender lunar Islam, ratusan juta orang di seluruh dunia memperingati kisah hidupnya dan berkabung atas tragedi itu.
Banyak orang sepanjang sejarah telah tertindas, dan ada banyak pejuang kemerdekaan dalam sejarah. Apa yang membuat Imam Husain as begitu istimewa?
Banyak orang sepanjang sejarah telah ditindas atau dianiaya secara brutal. Bahkan di era modern saat ini, penindasan masih banyak ditemukan dalam kejadian sehari-hari. Lalu mengapa Imam Husain as harus diperlakukan khusus? Mengapa tragedi hidupnya dianggap lebih menonjol bila dibandingkan dengan semua tragedi lainnya dalam sejarah? Ada beberapa alasan mengapa tragedi Imam Husain as lebih penting.
Pertama, Imam Husain as memiliki kepribadian, karakter dan status yang luar biasa. Beliau adalah cucu kinasih Nabi Muhammad Saw. Dia dipilih oleh Allah Swt untuk memimpin umat manusia. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya Imam Husain as melakukan kesalahan. Dia penyayang dan murah hati kepada siapapun, termasuk kepada musuh-musuhnya. Dia tidak pernah memiliki motif dan agenda politik pribadi. Ketika setiap orang yang tidak bersalah dianggap suci dan membunuh orang yang tidak bersalah adalah kejahatan besar, tindakan membunuh seseorang seperti pribadi Imam Husain as adalah kejahatan yang jauh lebih besar karena beliau menempati posisi yang penting. Petaka karena terbunuhnya Imam Husain as juga jauh lebih besar, dan dampaknya bagi Islam juga tak terbayangkan.
Kedua, alur tragedi Imam Husain as tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Selama hampir tiga hari sebelum dia dibunuh, dia bersama dengan keluarga dan para sahabatnya tidak diberi akses kepada sumber air. Dia menyaksikan sendiri anak-anak kecil menjerit dan menderita kehausan. Dia menyaksikan melemahnya bayi enam bulan di dataran panas Karbala ketika ibunya tidak bisa lagi menyusuinya. Kekejaman pembunuhnya bahkan semakin nyata ketika Imam Husain as dan para pengikutnya berkemah hanya beberapa ratus meter dari Sungai Efrat, tetapi karena jumlahnya sangat sedikit di mata musuh, mereka tidak diberi akses ke sungai bahkan hanya untuk mencari air minum.
Saat pertempuran terjadi pada hari kesepuluh Muharram, tahun 61 dalam kalender Islam, sejumlah sahabat Imam Husain as menemui syahadah. Musuh memulai pertempuran dengan menghujani Imam Husain as dan sahabat-sahabatnya dengan panah ketika beliau memimpin salat jamaah. Anggota pertama dari keluarga Imam Husain as yang dibantai adalah putra sulungnya sendiri, Ali Akbar. Sementara yang terakhir dibunuh adalah anak bayinya yang paling kecil, Ali Asghar. Ketika Imam Husain as menyadari bahwa bayinya itu hampir mati kehausan, dia membawanya dalam pelukannya dan berangkat ke medan perang tanpa senjata. Beliau mendatangi musuh-musuhnya lalu mengatakan kepada mereka bahwa bayi ini tak berdosa. Jika musuh-musuh itu berkeyakinan Imam Husain as telah melakukan dosa dengan tidak membaiat diktator dinasti Umayyah Yazid bin Mu'awiyah, lalu apa dosa bayi ini? Imam Husain as meminta musuhnya untuk memberikan air kepada sang bayi. Namun, alih-alih memberi air, musuh malah menembak bayi dengan anak panah. Imam Husain as menyaksikan bayinya dibunuh di dalam pelukannya. Kemudian pada hari itu juga, Imam Husain as diserang oleh tentara yang tak terhitung jumlahnya, yang menyerang setidaknya dengan tujuh puluh dua kali tembakan anak panah, tombak dan pedang, sampai akhirnya Imam Husain as dipenggal di dataran Karbala disaksikan beberapa wanita dan anak-anak dari perkemahan mereka.
Ketiga, tragedi tidak berakhir dengan pemenggalan kepala Imam Husain as. Semua perempuan yang bersamanya, termasuk anak-anak, dibawa sebagai tawanan perang. Di perang itu, anak-anak telah kehilangan ayah mereka, paman dan saudara; demikian pula perempuan kehilangan suami mereka. Namun, ketika mereka menangis, mereka tanpa ampun dipukuli oleh musuh. Itu adalah perlakuan yang mereka terima. Kemudian mereka diarak dari kota ke kota, sampai ke kota Damaskus, pusat pemerintahan Yazid yang despotis. Sepanjang jalan mereka dipermalukan. Mereka dibiarkan dalam kondisi yang buruk dan kelaparan, karenanya beberapa anak meninggal di jalan. Putri Imam Husain as yang berusia tiga tahun, Ruqayya, meninggal tak lama setelah mereka tiba di Damaskus. Bahkan, para wanita dan anak-anak terus-menerus diperlihatkan adegan mengerikan, kepala Imam Husain as ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Karbala ke Damaskus. Untuk menambah penghinaan terhadap para tawanan perempuan itu, ketika mereka tiba di Damaskus, Yazid telah mengumumkan hari itu sebagai hari pesta pora. Jalan-jalan di Damaskus penuh sesak dengan kegembiraan atas terbunuhnya Imam Husain as. Banyak warga Damaskus telah dicuci otak dan tidak tahu siapa sebenarnya Imam Husain as dan keluarganya. Yazid telah menyebarkan berita kepada penduduk Damaskus bahwa mereka sedang merayakan kekalahan kelompok bid’ah yang kafir.
Keempat, Imam Husain as menolak untuk membaiat Yazid bukan karena ia bercita-cita untuk mencapai status politik di wilayah Islam pada waktu itu. Satu-satunya tujuan beliau adalah untuk melawan kejahatan dan ketidakadilan, serta untuk menyelamatkan kaum muslimin dari pemerintah Yazid yang despotis. Imam Husain as ingin membebaskan kaum muslimin, memberikan mereka kemerdekaan, martabat dan kehormatan. Beliau ingin menyelamatkan agama Islam dari tangan-tangan jahat yang membajak Islam untuk kepentingan pribadi. Ketika dalam sejarah Islam banyak mujahid berjuang untuk tujuan mulia, kelompok Yazid justru berperang untuk memperoleh status politik atau mendapatkan imbalan duniawi. Ini adalah sifat manusia untuk mengejar kepentingannya sendiri, dan inilah kepentingan pribadi yang telah mendorong banyak orang yang muncul di dalam sejarah. Tapi Imam Husain as berbeda, Imam Husain as berjuang semata-mata untuk Allah dan kemanusiaan. Beliau tak mengharapkan imbalan apapun. Dalam sebuah puisi Arab yang indah, Imam Husain as dengan fasih merangkum niat sucinya mencari keridhaan Allah:
Telah kutinggalkan dunia dan seisinya karenaMu,
Telah menjadi yatim anak-anakku agar aku bisa bertemu denganMu,
Sekiranya tubuhku dicincang karena kecintaanku padaMu
Hatiku tak akan pernah bersandar kepada selainMu.
Oleh karena itu, ketika kita mempertimbangkan faktor-faktor di atas selain faktor-faktor lain yang jauh lebih banyak, kita menyadari bahwa tragedi Imam Husain as memegang peranan penting di dalam sejarah. Tragedi Imam Husain as adalah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah umat manusia, tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mengapa Muslim Syiah berkabung atas Imam Husain as?
Sejak hari syahadah Imam Husain as, para pengikutnya memulai satu tradisi berkabung mengenang tragedi tersebut yang berlanjut sampai hari ini. Setiap tahun, ratusan juta Muslim Syiah, di samping banyak Muslim Sunni lainnya, bahkan banyak non-Muslim, berdukacita dan memperingati tragedi itu. Kami mengenang tragedi Imam Husain as untuk tetap menjaga dan menghidupkan pesannya. Kami menangisinya dalam rangka melestarikan nilai-nilai perjuangannya. Dengan berkabung ini, kita menyampaikan pesan bahwa pada dasarnya kita menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya. Dengan berkabung ini pula, kita menunjukkan perjuangan untuk keadilan, kebebasan, martabat dan kehormatan manusia. Imam Husain as menyelamatkan agama Islam dari kejahatan Yazid dan dinastinya. Kami selamanya berhutang budi kepada perjuangan Imam Husain as. Kami berduka untuk beliau demi mengucapkan terima kasih atas upaya-upaya besarnya dan untuk menghargai pengorbanannya. Dengan berkabung atas Imam Husain as, kami mampu memurnikan jiwa dari dosa-dosa, ketidakadilan, dan keburukan. Asyura adalah masa berkabung yang memberikan kita kesempatan untuk lebih terhubung dengan Imam Husain as dan nilai-nilai perjuangannya, Asyura juga menjadi sarana untuk memperbaiki diri kita sendiri dan untuk mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Dengan berkabung atas tragedi itu, kita mendorong diri kita untuk bekerja lebih keras demi menegakkan keadilan. Setiap air mata yang kita cucurkan adalah energi dan penguat yang akan memotivasi kita untuk bekerja siang dan malam demi tegaknya keadilan sosial, kukuhnya kepatuhan pada hukum-hukum Allah, dan untuk memenuhi kewajiban kita di dalam agama, moral dan etika.
Sepanjang sejarah, berbagai kelompok masyarakat di dunia ini menyatakan duka cita atas tragedi Imam Husain as dengan cara budaya mereka sendiri, dan kami menghormati semua budaya itu. Selain memperingati tragedi Imam Husain as dan bagaimana mengambil hikmah dari ajaran-ajarannya, di berbagai belahan bumi, masyarakat juga mengadakan kajian spiritual dan forum pendidikan di bulan Muharram untuk mendiskusikan wacana spiritual, kekeluargaan dan isu sosial lainnya.
Mengapa Tuhan membiarkan peristiwa tragis seperti itu terjadi?
Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin Allah Swt yang Rahman dan Rahimmembiarkan kejahatan keji terjadi sepanjang sejarah, khususnya tragedi Imam Husain as? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus mengingat alasan mengapa Tuhan menempatkan kita di dunia ini. Tuhan menciptakan kita di dunia ini untuk menguji kita. Bayangkan bahwa hidup ini ibarat ruang ujian yang besar dan luas. Di ujian ini, kita harus menunjukkan apakah kita adalah orang-orang baik yang pantas masuk surga atau tidak. Sekiranya Tuhan memaksa kita untuk tidak bisa melakukan tindakan kejahatan apapun, maka ujian ini menjadi non sense, tak ada gunanya. Mirip dengan ujian pilihan ganda. Setiap pertanyaan memiliki beberapa alternatif jawaban yang bisa dipilih. Jika semua jawaban itu benar, dan jawaban apapun yang Anda pilih pasti benar, maka ujian itu bukanlah ujian yang sebenarnya. Namun, jika ada jawaban yang salah di antara jawaban yang benar, dan Anda harus berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat (yang bisa diketahui jika telah belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian itu), maka itulah ujian yang sesungguhnya. Profesor yang membuat soal tersebut tentulah orang yang telah memasukkan jawaban salah ke dalam soal ujian itu. Dapatkah kita menyimpulkan bahwa profesor pembuat soal itu tidak Pengasih karena ia telah menambahkan jawaban yang salah? Profesor itu pasti telah memahami bagaimana ia seharusnya menguji murid-muridnya, dan menambahkan jawaban yang salah dalam soal pilihan ganda itu adalah bagian dari metode pengujian terhadap murid-muridnya.
Demikian pula, Allah membiarkan kejahatan terjadi di muka bumi untuk menjadi ujian dan agar kita bisa memilih jalan yang benar. Dengan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, kita bisa memahami nilai kebaikan yang tinggi. Jika segala sesuatu di muka bumi ini adalah kebaikan, maka kita tidak akan bisa memahami nilai kebaikan itu sendiri. Apa yang telah menimpa Imam Husain as merepresentasikan puncak kejahatan, namun Allah mengijinkan hal itu terjadi untuk sejumlah alasan. Pertama, Allah menguji kaum Muslimin saat itu apakah mereka akan menolong Imam Husain as dan melawan penindasan, atau mereka akan berpihak kepada Yazid dan meninggalkan kewajiban agama dan moral mereka. Kedua, melalui penderitaan, Imam Husain as diberikan kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Allah telah menyediakan tempat khusus bagi Imam Husain as di surga bersama datuknya Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Allah Swt menanamkan cinta kepada Imam Husain as di hati jutaan manusia yang mengunjungi makamnya dan memperingati tragedinya setiap tahun. Ketiga, tragedi Imam Husain as berfungsi sebagai pengingat bahwa keadilan, kemerdekaan dan martabat yang kita miliki tidak disuguhkan kepada kita dengan piring emas. Kita harus bekerja keras untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi ini.
Apakah Imam Husain as tahu bahwa dia akhirnya akan dibunuh? Jika dia tahu, mengapa ia pergi ke Irak?
Imam Husain as tidak diragukan lagi tahu bahwa nasib tragis telah menunggunya. Pada banyak kesempatan Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa cucunya Husain as akan dibunuh secara tidak adil di Karbala. Berbagai riwayat yang sahih dan catatan sejarah yang terpercaya telah memberitahu kita bahwa ketika Imam Husain as dilahirkan di Madinah, Nabi Muhammad terlihat menangis saat itu. Ketika ditanya mengapa, beliau menjelaskan bahwa ia menangisi nasib tragis yang akan menimpa cucunya. Sampai sisa hidup Nabi Saw yang berlangsung sekitar 6 tahun setelah kelahiran Imam Husain as, Nabi sering berbicara tentang syahadah cucunya. Bahkan Rasulullah Saw sering berdoa agar memutus syafaatnya bagi pembunuh Imam Husain as dan menghukum mereka pada hari kiamat. Imam Ali as juga berbicara tentang tragedi Karbala. Dalam salah satu perjalanannya yang melintasi Irak, ia menyampaikan nubuat kepada para sahabatnya tentang tragedi Karbala. Hal itu disampaikannya tepat ketika mereka melewati tanah di mana Imam Husain as kelak terbunuh, tempat yang kemudian dikenal dengan nama Karbala.
Oleh karena itu, tidak masuk akal jika Imam Husain as tidak mengetahui tragedi Karbala. Ia sepenuhnya menyadari nasib tragis yang menantinya. Beberapa sarjana dan sejarawan dangkal menuduh Imam Husain as tidak begitu bijaksana ketika ia meninggalkan Madinah menuju Irak. Mereka berpendapat bahwa Imam Husain as seharusnya tidak tertipu oleh janji-janji rakyat Irak untuk mendukung revolusi itu, karena mereka dikenal dengan pengkhianatan mereka, terutama pengkhianatan mereka terhadap ayah dan kakaknya (Imam Ali as dan Imam Hasan as). Namun perlu ditegaskan, Imam Husain as tidak berangkat ke Irak dengan niat merebut wilayah tersebut dari Dinasti Umayyah yang korup lalu membentuk pemerintahan di sana. Imam Husain berangkat ke Irak untuk memenuhi kewajibannya - membangkitkan umat Islam dari sihir rezim despotik Yazid. Dia memimpin sebuah revolusi untuk melawan ketidakadilan dan menyelamatkan ajaran Islam. Walaupun revolusi itu harus dibayar dengan jiwa Imam Husain as, tapi mengorbankan hidupnya demi Tuhan dan menyelamatkan Islam adalah jihad tertinggi.
Sebagai contoh, bayangkan seseorang yang didiagnosa menderita kanker di salah satu anggota tubuhnya. Dia diberitahu oleh dokter bahwa pilihan tindakan yang bisa diambil adalah anggota badannya diamputasi untuk menghentikan penyebaran kanker demi menyelamatkan nyawanya; atau kanker itu dibiarkan saja dengan resiko menghadapi kematian yang lebih cepat. Tidak ada orang waras yang ragu untuk mengamputasi anggota tubuhnya, jika terbukti bahwa dengan mengamputasi anggota badannya tersebut, ia akan menyelamatkan hidupnya. Demikian pula Imam Husain as. Beliau telah menyaksikan dekadensi moral di dunia Islam saat itu, terlebih ketika Dinasti Umayyah terus-menerus menghancurkan agama Islam dengan kedok Islam pula. Satu-satunya cara bagi Imam Husain as untuk menyelamatkan Islam dan membangunkan kaum muslimin saat itu adalah dengan mengorbankan hidupnya.
Maka ketika Imam Husain as meninggalkan Madinah, saudara sebapak Imam Husain as, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah memperingatkan beliau bahwa rakyat Irak akan mengkhianatinya dan dia akan terbunuh. Namun, Imam Husain as menjawab, "Allah telah menghendaki syahadah untukku." Dengan kata lain, Imam Husain as memberitahu saudaranya bahwa Allah telah merencanakan beliau harus menyelamatkan Islam melalui syahadah yang agung.
Mengapa Imam Husain as membawa perempuan dan anak-anak bersamanya pada tragedy Asyura?
Ketika Imam Husain as berangkat dari kampung halamannya di Madinah menuju Irak pada tahun 680 Masehi, ia membawa anak-anaknya dan perempuan dari keluarganya, termasuk saudara dan keponakannya. Imam Husain as memenuhi panggilan Allah dengan membawa keluarganya. Ada dua alasan utama mengapa ia membawa keluarganya pada waktu itu, padahal beliau tahu bahwa perjalanan mereka akan sangat sulit dan bahaya terbentang di hadapan mereka.
Pertama, niat Imam Husain as semata-mata karena Allah. Beliau sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk mencari status politik atau keuntungan duniawi. Dalam salah satu riwayat, Imam Husain as mengatakan, "Saya tidak bangkit untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas, saya pun tak berkeinginan menyebarkan kebatilan. Saya tak bangkit menjadi penindas, pun tak berkehendak melakukan kerusakan. Saya bangkit untuk menegakkan kembali ajaran datukku Muhammad Saw. Saya bangkit untuk menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menegakkan kembali warisan kakek saya dan ayah saya Ali as." Untuk menunjukkan bahwa dia mencari keridhaan Allah Swt dalam misinya, Imam Husain as membawa keluarga bersamanya. Charles Dickens menyatakan hal ini dengan tepat, "Sekiranya Imam Husain as berjuang hanya untuk memuaskan keinginan duniawi, saya tidak melihat alasan mengapa dia harus membawa adik, istri, dan anak-anaknya. Oleh karena itu, Imam Husain as sejatinya berkorban hanya untuk Islam." Jika Imam Husain as hanya mengejar kedudukan duniawi, mengapa ia membahayakan keluarganya dan membawa mereka dalam perjalanan yang berbahaya? Keikutsertaan keluarganya adalah bukti yang kuat bahwa misi Imam Husain as murni didedikasikan untuk Allah Swt dan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Kedua, Imam Husain as benar-benar tahu bahwa Dinasti Umayyah, yang berada di bawah kepemimpinan Yazid pada saat itu, adalah seorang ahli dan penipu ulung yang sangat lihai mencuci otak masyarakat Islam dengan informasi-informasi bohong. Mereka memiliki mesin propaganda yang kuat yang langsung didanai oleh pemerintahannya. Mereka menghabiskan jutaan koin emas (dinar) untuk mengutak-atik ajaran Nabi Muhammad, mendistorsi pesannya, dan memalsukan ajaran Al Qur'an yang suci. Selama beberapa dekade, mereka telah menyebar kebohongan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, terutama ayah Imam Husain as, Imam Ali as. Mereka mengutuk Imam Ali as dalam khotbah-khotbah mereka, dan menyebarkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa Imam Ali as adalah musuh Allah yang kafir. Imam Husain as tahu sekali bahwa sekiranya beliau terbunuh di Irak dalam keadaan sendirian, tidak akan ada orang lain yang akan menyampaikan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi di Karbala. Tidak akan ada orang yang akan mengekspos rencana jahat Yazid dan menyadarkan kaum muslimin perihal kezalimannya. Satu-satunya kelompok yang bisa melakukan tugas ini adalah perempuan dan anak-anak Imam Husain as sendiri. Dan memang terbukti, dunia mengetahui tragedi Karbala melalui mata dan telinga dari para perempuan dan anak-anak Imam Husain as. Merekalah yang menceritakan kepada dunia apa yang terjadi di Karbala dan bagaimana kezaliman yang telah dilakukan oleh Yazid. Anak-anak dan perempuan itu memang menderita, tetapi itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang dari pemerintahan Yazid yang jahat. Adik Imam Husain as, Sayyidah Zainab, memainkan peran penting dalam mengungkap kezaliman Yazid dan memberikan informasi yang benar kepada kaum muslimin. Dia menyampaikan pesan dari kakaknya, Imam Husain as, ke seluruh penjuru dunia. Hingga hari ini, Zainab dikenang dan diakui oleh jutaan orang sebagai pahlawan sejati dan jawara yang membawa pesan Imam Husain as, beliau telah menjadi penyelamat agama Islam.
Bagaimana Imam Husain as mengajarkan kita kebebasan, martabat manusia dan keadilan?
Kita belajar tentang nilai-nilai keadilan, kebebasan dan kemanusiaan dari Imam Husain as dengan beberapa cara.
Pertama, Imam Husain as mengajarkan bahwa mati untuk mempertahankan kehormatan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan. Tujuan kita bukan hanya untuk hidup saja. Kita harus memiliki tujuan mulia di balik kehidupan kita ini. Hidup yang diisi dengan eksploitasi dan penindasan terhadap orang lain, berdiam diri di depan ketidakadilan, dan hidup yang menafikan keadilan bukanlah hidup yang pantas dijalani. Di dalam hidup kita saat ini, kita harusnya memuliakan hidup sendiri dengan bekerja untuk tujuan yang benar. Sekiranya menegakkan keadilan mengharuskan kita mengorbankan waktu, kekayaan dan kehidupan, kita mestinya tidak boleh ragu-ragu untuk melakukannya. Jika di dalam hidup ini kita hanya menerima penghinaan yang tidak adil, maka kehidupan semacam itu tidak layak dijalani. Oleh karena itu, Imam Husain as pernah mengatakan, "Saya tak melihat kematian (untuk tujuan yang benar) selain kebahagiaan semata, dan saya tak melihat kehidupan bersama penindas kecuali sebagai penderitaan."
Kedua, Imam Husain as bukan hanya mengajarkan bagaimana caranya bebas dari tirani dan kezaliman, tetapi juga bagaimana caranya kita bisa mengalahkan keinginan dan godaan duniawi. Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya bukanlah manusia yang merdeka. Pada hakikatnya mereka adalah budak. Di dunia modern saat ini, dengan banyaknya gangguan dan godaan untuk memenuhi hawa nafsu dengan cara yang tidak benar, pesan Imam Husain as menjadi jauh lebih relevan disbanding sebelumnya. Seseorang tidak akan mampu mencapai kesuksesan tanpa bisa mengatur keinginannya dan memperkuat pemihakannya kepada hal-hal yang benar. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang memerangi Imam Husain as di hari Asyura adalah karena mereka diperbudak oleh hawa nafsunya. Mereka mengisi kehidupannya dengan cara-cara yang tidak benar, bahkan sering dengan menginjak-injak hak orang lain. Meskipun teknologi yang serba cepat saat ini memaksa kita mencari kesenangan instan, kita harusnya bisa memanfaatkan waktu singkat ini untuk kesuksesan yang lebih panjang.
Ketiga, Imam Husain as mengajarkan kita bahwa kehidupan orang beriman bukanlah jalan yang dihiasi dengan kembang dan karpet merah. Hidup ini penuh dengan kesulitan dan kita mestinya selalu siap untuk menghadapinya. Tujuan hidup kita bukanlah untuk mendapatkan kesenangan walau harus dibayar dengan harga berapapun. Kita harus membuat keputusan yang tepat, bukan keputusan yang mudah. Di dalam hidup ini ada masanya kita harus berkorban. Dalam konteks ini, pengorbanan itu tak harus dilihat sebagai beban, tetapi justru sebagai kesempatan dan rahmat yang melaluinya kita bisa mencapai kesempurnaan dan meninggikan maqam spiritual. Kita harus berjuang untuk keadilan sosial dan kesejajaran. Kita harus berjuang untuk mencapai kesetaraan ekonomi dan memenuhi tugas kita dalam melawan kemiskinan. Setiap hari, hamper 30.000 anak meninggal karena kemiskinan, kekurangan gizi dan keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Betapa banyak masyarakat di berbagai belahan bumi yang terpinggirkan sekaligus dieksploitasi oleh kelompok yang lebih kuat. Inilah yang harus kita tuntaskan.
Keempat, Imam Husain as jelas mengajarkan kita bahwa apa yang benar tidak selalu populer, dan apa yang populer tidak selalu benar. Kebanyakan orang saat jamannya memilih untuk mengikuti arus. Mereka puas dengan status quo. Hanya beberapa sahabat yang mulia memutuskan untuk pergi melawan arus dan memilih apa yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi, yang merupakan salah satu komandan tentara Yazid, menemukan dirinya gemetar. Rekan-rekannya, terkejut, mengatakan bahwa ia adalah salah satu prajurit pAli asng berani yang pernah mereka tahu, jadi bagaimana bisa ia dipukul dengan sikap pengecut dalam menghadapi memerangi Imam Husain as? Dia terkenal menjawab mereka, "Aku mendapati diriku di antara surga dan neraka, dan demi Tuhan, aku tidak akan memilih apa pun atas langit." Dia meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan kamp Imam Husain as, dan ia menjadi salah satu dari para martir pertama dari pertempuran membela Imam Husain as.
Kelima, Imam Husain as dengan terang mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran tidak selalu popular serta apa yang popular belum tentu adalah kebenaran. Pada masa beliau, kebanyakan orang memilih ikut arus saja. Mereka puas dengan status quo. Hanya segelintir orang terhormat yang memilih jalan yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi yang merupakan salah seorang pemimpin pasukan tentara Yazid, mengalami goncangan kejiwaan yang hebat. Kawan-kawannya yang juga terkejut melihat perubahan al-Hurr yang tiba-tiba, memberinya nasehat sembari mengatakan bahwa al-Hurr adalah salah seorang tentara pemberani yang terkenal, lalu bagaimana mungkin al-Hurr tiba-tiba menjadi seorang pengecut ketika berhadapan dengan Imam Husain as? Namun jawaban al-Hurr sangat menyentak, “Saya menemukan diriku di antara surge dan neraka, dan demi Allah, saya tidak akan menukar surga dengan apapun”. Al-Hurr meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Beliau menjadi salah seorang syahid pertama yang gugur dari pasukan Imam Husain as.
Keenam, tragedi Karbala memberikan kita pelajaran indah dari sebuah kesetiaan. Sekiranya orang-orang Kufah itu tetap setia kepada Imam Husain as, mungkin saja perang itu bisa dihindarkan. Pengkhianatan orang-orang Kufah itu menjadi salah satu faktor penting penyebab perang Karbala. Sebaliknya, 70 atau lebih sahabat Imam Husain as telah mencapai puncak kesetiaannya di hari Asyura dengan tetap berada bersama Imam Husain as dan melindungi beliau dengan segala cara. Wahab al-Kalbi, salah seorang sahabat Imam Husain as berasal dari suku yang beragama Kristen. Mendengar seruan Imam Husain as, beliau lalu masuk Islam dan bergabung dengan kafilah Imam Husain as untuk mengucap janji setia. Istri dan Ibu Wahab juga kemudian mengikutinya. Ketika ibunya menyemangatinya maju ke medan perang saat perang dimulai, istrinya justru meminta agar Wahab tak pergi. Memang, mereka adalah sepasang pengantin baru waktu itu. Sang istri baru saja memulai hidup baru dengan suaminya, lalu bagaimana mungkin dia akan merelakannya pergi berperang secepat itu? Wahab mendengarkan Ibunya dan berlari ke medan perang. Saat Wahab melawan musuh-musuhnya dengan gagah berani, dia melihat istrinya maju ke medan perang yang sama sambal berteriak, “Wahab, teruskan perjuanganmu. Lindungilah cucu Baginda Nabi!”. Wahab menjawab istrinya dengan keheranan, “Istriku, beberapa saat yang lalu engkau melarangku ke medan perang, mengapa tiba-tiba engkau datang untuk menyemangatiku?” Istrinya menjawab, “Wahab suamiku, jangan salahkan aku, teriakan Husain telah menyayat hatiku! Aku telah melihat beliau bersandar ke salah satu tenda dan berkata ‘Adakah orang yang hendak menolong kami? Adakah orang yang ingin mendukung kami? Tak adakah seorangpun yang hendak melindungi keluarga Muhammad?’ Oh Wahab suamiku, teruskanlah perjuanganmu membela Imam Husain as. Ketika musuh melihat istri Wahab menyemangati suaminya, musuh tak hanya berusaha membunuh Wahab, tetapi juga istrinya sekaligus. Istri Wahab kemudian tercatat menjadi syahidah pertama di Karbala. Betapa menjadi pelajaran indah tentang kesetiaan. Di dunia kita saat ini, kita mestinya belajar dari pelajaran berharga ini bagaimana harusnya kita setia kepada nilai-nilai agama dan moral, kepada orang tua, keluarga, sahabat, dan kerabat lainnya. Menusuk mereka dari belakang dan menjatuhkannya ketika mereka sangat membutuhkan kita adalah sebuah dosa besar di sisi Allah Swt. Tak ada perbuatan yang lebih mulia di sisi Allah selain membantu mereka yang membutuhkan.
Siapa yang memulai pertempuran di Karbala? Apakah Imam Husain as benar-benar ingin melawan musuh-musuhnya?
Imam Husain as telah mencoba segala upaya untuk menghindari pertempuran. Namun sebaliknya, musuh-musuh beliau telah bertekad untuk membunuhnya. Di Karbala, sebelum perang di mulai, Imam Husain as telah berjanji kepada mereka bahwa beliau akan kembali ke Madinah dan tidak akan melanjutkan perjalanan mereka ke Kufah. Tapi musuh-musuh Imam Husain as menolak tawaran itu. Imam Husain as lalu mengatakan bahwa beliau akan pergi jauh demi menghindari pertumpahan darah itu, mereka juga menolaknya. Imam Husain as bukanlah orang yang menghendaki peperangan. Misi beliau adalah melawan penindasan dan mengembalikan masyarakat Islam yang telah dibangun oleh kakeknya. Berbaiat kepada diktator Yazid bukanlah opsi baginya, karena hal itu bertentangan dengan pesan keadilan yang didengungkannya. Mengakui pemerintah zalim seperti Yazid berarti mengakui prilaku buruk dan kejahatannya yang berbahaya bagi kemanusiaan. Namun di hari Asyura, Imam Husain as tetap menolak untuk memulai perang. Beliau berkata kepada para sahabatnya, “Saya tidak akan memulai peperangan”. Dan ketika Imam Husain as sedang salat berjamaah dengan para sahabatnya, musuh memulai perang dengan menembakkan anak panah ke arah mereka.
Kapan Imam Husain as tiba Karbala, dan Bagaimana Urutan Peristiwanya?
Pada hari kedua Muharram, tahun 61 AH (680 M), kafilah Imam Husain as tiba di padang Karbala. Beliau bertanya kepada para sahabatnya tentang nama daerah tersebut. Dia diberitahukan beberapa nama sampai akhirnya disebutkan padanya bahwa daerah itu bernama Karbala. Dalam bahasa Arab, kata Karbala merupakan gabungan dari dua kata: Karb dan bala', yang berarti penderitaan dan bencana. Benar, tanah itu akan menjadi tempat duka dan bencana dalam beberapa hari kemudian. Setelah mengetahui bahwa daerah itu adalah Karbala, Imam Husain as memerintahkan para sahabatnya untuk membangun tenda. Dia mengatakan kepada mereka, "Di sinilah kita akan tinggal. Di sinilah anak-anak kita akan dibantai. Di sinilah orang-orang kita akan dibunuh. Di sinilah perempuan kita akan diambil sebagai tawanan."
Pasukan pertama tentara Yazid yang mencegat Imam Husain as dan menghentikan beliau agar tidak melanjutkan perjalanannya ke Kufah (yang jaraknya sekitar 50 km sebelah selatan Karbala) terdiri dari 1.000 tentara di bawah kepemimpinan al-Hurr. Pada hari ketiga Muharram, Umar Ibn Sa'ad, panglima tentara Yazid, menyusul tiba di Karbala dengan 4.000 tentara. Pada hari kelima Muharram, semakin banyak tentara dan pasukan bergabung dengan tentara dari Umar Ibn Sa'ad. Beberapa sejarawan menyebutkan angka yang berbeda untuk jumlah tentara Yazid yang hadir ketika pertempuran terjadi. Namun, angka-angka yang mereka sebutkan berkisar antara 15.000 sampai 35.000 orang.
Pada hari-hari menjelang pertempuran, Imam Husain as bertemu dengan Umar Ibn Sa'ad dan berusaha membujuknya untuk mencegah terjadinya pertempuran. Dalam satu percakapan, Imam Husain as bertanya “Apakah kamu tidak tahu siapa aku? Mengapa kalian ingin membunuhku?” Umar mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan selain melawan Imam Husain as dan para sahabatnya. Imam Husain as bertanya mengapa? Umar mengatakan bahwa jika dia menolak perintah itu, pemerintahan Yazid akan menghancurkan rumahnya. Imam Husain as lalu berjanji bahwa beliau akan memberinya sebuah rumah jika ia mencegah terjadinya pertempuran. Namun, Umar menolak tawarannya. Umar menambahkan alasan lain dengan mengatakan bahwa ia takut Yazid akan menyita lahan pertanian, desa dan harta benda miliknya. Imam Husain as kemudian berjanji lagi bahwa ia akan memberikannya kompensasi, tapi Umar tetap saja dengan keinginan jahatnya. Umar berkata kepada Imam Husain as bahwa Ibnu Ziyad, gubernur Yazid di Kufah, telah berjanji untuk menunjuknya sebagai gubernur di Ray (kota Teheran sekarang) sebagai imbalan jika ia berhasil membunuh Imam Husain as. Umar adalah orang yang hanya memikirkan diri sendiri, larut dalam keinginan jahat, dan ia terlalu lemah untuk melawan nafsu buruknya itu. Dia rakus kekuasaan, bahkan jika kekuasaan itu dia akan dapatkan dengan membunuh cucu Nabi Muhammad Saw. Dan terakhir, tak ada yang bisa menghalanginya berperang dan membunuh Imam Husain as.
Pada hari kedelapan Muharram, perkemahan Imam Husain as kehabisan air. Saudara laki-laki Imam Husain as, Abbas, berhasil mengusir tentara Yazid yang menjaga tepi sungai. Abbas bisa mendapatkan air, tapi itulah upaya terakhir yang berhasil mendapatkan air untuk para wanita dan anak-anak. Setelah itu, tentara Yazid memblokir mereka dari akses air ke sungai. Segera setelah persediaan air mereka habis, di dataran panas Karbala, anak-anak mulai menderita kehausan. Pada hari kesembilan Muharram, Shimr, manusia laknat yang kemudian akan memenggal kepala Imam Husain as keesokan harinya, tiba dengan perintah dari Ibnu Ziyad. Syimr memaksa Imam Husain as untuk berbai'at kepada Yazid atau dia akan dibunuh. Imam Husain as menolak untuk berbaiat. Pada malam Asyura, tentara Yazid memutuskan untuk memulai pertempuran. Imam Husain as mengirim saudaranya Abbas menemui musuh untuk meminta perpanjangan waktu satu malam saja. Imam Husain as mengatakan, "Saya ingin menghabiskan malam terakhir ini berdoa kepada Allah, dan Allah tahu betapa aku menyukai doa." Musuh menyetujui permintaan tersebut. Maka pada malam itu, para sahabat Imam Husain as larut dalam doa dan munajat, sementara di sisi yang lain tentara Yazid merayakan malam itu dengan menari dan minum minuman keras. Para sahabat Imam Husain as menghabiskan sedikit waktu yang tersisa bersama keluarga mereka, merasa bahwa malam itu adalah kebersamaan mereka yang terakhir. Imam Husain as kemudian mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan mengatakan bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk tinggal bersamanya dan bertempur melawan tentara Yazid. Mereka dipersilahkan meninggalkan Imam Husain as jika mereka mau. Tetapi mereka semua menolak. Mereka merasa terhormat untuk berjuang bersama cucu Nabi Muhammad Saw dan menjadi syuhada di jalan Allah.
Pada malam Asyura, Imam Husain as mengumpulkan perempuan dan anak-anak dan memberitahukan bahwa perjalanan yang sangat sulit menanti mereka. Dia meminta mereka untuk tetap bersabar sekiranya beliau terbunuh dan jika mereka akan dibawa sebagai tawanan. Beliau mendelegasikan tugas mengurus perempuan dan anak-anak kepada adiknya, Sayyidah Zaynab as. Imam Husain as juga memerintahkan keluarganya untuk mematuhi anaknya yang sakit, Ali Zainal Abidin, jika akhirnya beliau syahid. Ali as sedang sakit parah saat itu sehingga beliau terlalu lemah untuk ikut di dalam pertempuran. Ali Zainal Abidin akan menjadi penerus Imam Husain as. Pada hari Asyura di hari kesepuluh Muharram, tak lama setelah fajar, pertempuran pun terjadi. Satu per satu, para sahabat Imam Husain as syahid di tanah Karbala. Demikian juga anggota keluarganya, termasuk putra tertuanya, keponakannya, empat saudara sebapaknya, dan anak bayinya Ali Asghar yang syahid di dalam gendongannya. Kemudian pada hari itu, di sore hari, Imam Husain as dikelilingi oleh musuh, dan dengan cara paling kejam yang tak terlukiskan, dia syahid menemui Tuhannya.
Apakah Hasil dari Revolusi Imam Husain as?
Revolusi Imam Husain as melahirkan kekagetan luar biasa di dunia Islam, menggema ke segenap pelosok dan membangunkan seluruh kaum muslimin saat itu. Tidak lama setelah tragedi Karbala, Dinasti Umayyah runtuh. Selepas tragedi Karbala, revolusi bermunculan untuk melawan penindasan Dinasti Umayyah. Imam Husain as berhasil membangkitkan dunia Islam dan membukakan mata mereka akan kejahatan Yazid. Revolusi Imam Husain as juga menjadi patron abadi harapan bangsa-bangsa tertindas di seluruh dunia. Revolusi Imam Husain as memberi peta jalan bagaimana mencapai kemenangan dengan meruntuhkan ketidakadilan. Seorang sarjana Sunni, Ajmiri, dengan indah melukiskan dalam kalimatnya, "Kelahiran Islam berhutang kepada Muhammad Saw, Kelangsungan hidupnya berhutang kepada Husain as." Revolusi Imam Husain as menyelamatkan agama Islam dari tangan kotor Dinasti Umayyah. Mereka memiliki misi jahat untuk merubah setiap jengkal ajaran Islam. Mereka menciptakan mesin propaganda yang kuat - terdiri dari para penyair, ahli pidato, ulama korup dan kepala-kepala suku - untuk mencuci otak orang-orang Islam dan menjauhkan mereka dari ajaran Islam yang sejati. Yazid adalah orang korup yang dikenal karena melakukan perzinahan dan inses secara teratur. Dia adalah seorang peminum khamar yang bahkan kadang-kadang dalam keadaan mabuk hendak menjadi imam salat berjamaah. Dia tidak memiliki nilai apa-apa bagi kehidupan manusia. Dia membunuh puluhan ribu orang yang tidak berdosa. Kemiskinan merajalela di wilayah kekuasaannya. Hanya mereka yang setia kepadanya dan mendukungnya secara aktif yang akan menikmati kelimpahan materi. Semua kekejamannya dilakukan atas nama Islam. Seandainya bukan karena revolusi Imam Husain as, Dinasti Umayyah akan mengubur agama Islam dalam-dalam dan generasi setelahnya tak akan mengenalnya sama sekali. Melalui tetesan darah sucinya, Imam Husain as menyelamatkan agama Allah. Setiap Muslim sampai hari kiamat akan berhutang budi kepada Imam Husain as.
Siapa Yang Akan Melanjutkan Revolusi Imam Husain as?
Imam Husain as mencetuskan revolusi suci untuk keadilan dan pembebasan empat belas abad yang lalu. Walaupun beliau kalah dalam pertempuran, beliau memenangkan peperangan. Musuh-musuhnya berhasil membunuhnya secara fisik, tetapi mereka tidak bisa membunuh pesan dan ajarannya yang suci. Sepanjang sejarah, banyak yang telah mendapatkan inspirasi dari oleh revolusi Imam Husain as. Diktator yang tak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah telah digulingkan oleh para pejuang kemerdekaan yang belajar dari Imam Husain as. Sejarah menceritakan, bahkan tokoh-tokoh seperti Gandhi pun belajar dari Imam Husain as untuk meraih kemenangan. Gandhi diketahui pernah berkata, "Saya belajar dari Husain as bagaimana mencapai kemenangan di dalam penindasan." Namun, orang yang benar-benar akan melanjutkan revolusi Imam Husain as dan mengisi dunia dengan keadilan yang telah diperjuangkan oleh Imam Husain as adalah Imam Mahdi as. Bersama Nabi Isa as, Imam Mahdi as akan mencetuskan revolusi global pada akhir zaman untuk memurnikan bumi dari kejahatan dan ketidakadilan. Berbagai riwayat telah menceritakan bahwa pemerintahan Imam Mahdi akan dibentuk pada hari Asyura, hari dimulainya revolusi Imam Husain as.
Mengapa Imam Husain as bangkit melawan Yazid sementara saudaranya Imam Hassan menerima perjanjian damai dengan ayah Yazid Mu'awiyah?
Ketika Imam Ali as terpilih menjadi khalifah pada tahun 656 Masehi, Mu'awiyah, yang pada saat itu adalah gubernur Damaskus, menolak mengakui kepemimpinannya. Pada saat yang sama, Imam Ali as juga menolak untuk melanjutkan tugas Mu'awiyah sebagai gubernur Damaskus karena dikenal sangat korup. Dalam empat tahun berikutnya, berbagai pertempuran terjadi di antara mereka. Mu'awiyah adalah seorang diktator jahat yang menggunakan segala tipu daya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ketika Imam Ali as dibunuh pada tahun 661 Masehi, putra sulungnya Imam Hasan as diangkat sebagai khalifah kaum muslimin menggantikan Ayahnya. Namun, karena tahun perang dan penipuan Mu'awiyah yang terus menerus, Imam Hasan as menyadari bahwa ia tak punya pilihan selain menerima perjanjian damai dengan Mu'awiyah. Untuk memahami mengapa Imam Hasan as menerima perjanjian damai dengan Muawiyah; sementara saudaranya, Imam Husain as, bangkit melawan Yazid anak Mu'awiyah itu, penting untuk menguraikan perbedaan antara Mu'awiyah dan putranya Yazid. Jelas bahwa mereka berdua adalah penguasa jahat yang harus dilawan, tetapi perlawanan terhadap mereka memerlukan metode yang berbeda karena kepribadian mereka yang juga berbeda. Yazid adalah penguasa ceroboh yang tidak menghargai agama dan etika sama sekali. Tak ada satu orangpun yang dia hormati. Dia terus-menerus mengikuti semua keinginan buruknya. Dia melakukan jenis dosa apa saja, tanpa memperhatikan wibawanya yang buruk di mata masyarakat. Dia sering muncul di depan umum dalam keadaan mabuk. Dia sama sekali tidak menghargai hukum Islam. Perzinaan dan inses (perkawinan sedarah) menjadi praktek umum di dalam istananya. Ketika Yazid diangkat sebagai “khalifah” setelah kematian ayahnya, ia memaksa Imam Husain as mengakui kepemimpinannya dan memaksa beliau untuk berbaiat. Namun Imam Husain as tidak mau menandatangani perjanjian dengan Yazid. Jika beliau melakukannya, hal itu berarti beliau mendukung praktek-praktek jahat dan memberi Yazid legitimasi atas semua kejahatannya. Mayoritas kaum muslimin saat itu tahu bahwa Yazid adalah penguasa korup. Dengan demikian, jika Imam Husain as mengakui kepemimpinan Yazid, bahkan jika pengakuan itu dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dengan kekerasan, tindakan Imam Husain as tersebut akan dilihat oleh kaum muslimin sebagai tindakan mendukung kepemimpinan Yazid. Pilihan ini jelas tidak mungkin dipilih oleh Imam Husain as. Fokus beliau saat itu adalah bagaimana caranya menyelamatkan agama Islam dengan tidak memberikan legitimasi kepada cara-cara yang anti-Islam dan tidak manusiawi seperti yang telah dilakukan oleh Yazid.
Mu'awiyah dalam hal ini berbeda dengan anaknya Yazid. Bagaimanapun, Muawiyah masih menjaga citranya di hadapan masyarakat. Muawiyah pintar menyembunyikan kelicikannya dengan tidak ingin tampil sebagai orang korup dan berdosa di mata rakyatnya. Oleh karena itu, ketika Imam Hasan as mengetahui sifat korup Mu'awiyah yang sebenarnya, beliau menyadari bahwa melanjutkan pertempuran melawan Mu'awiyah tidak akan bisa menampakkan keinginan licik dia yang sebenarnya. Orang-orang bahkan bisa jadi akan berbalik melawan Imam Hasan as dan menyalahkan beliau untuk pertumpahan darah di medan perang. Sambil menghasut orang-orang untuk berperang, Muawiyah akan bertindak seolah-olah tidak bersalah lalu melemparkan kesalahan itu kepada Imam Hasan as. Ini menjadi buah simalakama bagi Imam Hasan as. Beliau menyadari bahwa jika beliau memenangkan pertempuran, orang akan melihatnya sebagai agresor dan mereka kemudian bersimpati dengan Mu'awiyah. Sebaliknya, jika beliau kalah dalam pertempuran, beliau akan disalahkan karena tidak menerima perjanjian damai. Sebenarnya, Mu'awiyah tidak pernah serius untuk berdamai dengan Imam Hasan as. Muawiyah hanya menggunakan perjanjian damai itu sebagai taktik licik untuk melemahkan Imam Hasan lalu melanjutkan agenda jahatnya. Begitu Imam Hasan as menerima perjanjian damai, nampaklah wajah asli Mu'awiyah yang sebenarnya. Muawiyah tidak menghormati perjanjian itu bahkan menginjak-injak kesepakatan di dalamnya. Tapi inilah yang persis diinginkan oleh Imam Hasan as. Beliau berhasil mengekspos wajah asli Mu'awiyah sebagai tiran yang licik. Orang-orang kemudian menyadari bahwa Mu'awiyah adalah orang fasik. Bagaimana Muawiyah bisa mengutuk perjanjian damai ketika dia sendiri berkampanye untuk itu? Orang-orang akhirnya menyadari bahwa Muawiyah adalah kekuatan tiran lapar yang tidak memiliki prinsip dan aturan. Muawiyah kemudian secara kasat mata terlihat bukan pemimpin yang benar dan didiskualifikasi sebagai penguasa Islam yang sah.
Oleh karena itu, Imam Hasan as maupun Husain as membuat upaya yang luar biasa untuk menyelamatkan Islam, menolak penindasan, dan mengekspos tirani jahat di zaman mereka. Namun karena keadaan mereka yang berbeda, Imam Hasan as menerima perjanjian damai sementara Imam Husain as bangkit dan memimpin revolusi.
Apa arti Asyura?
Asyura dalam bahasa Arab berasal dari akar kata "Asyra," yang berarti sepuluh. Ashura mengacu pada hari kesepuluh bulan Muharram, yang merupakan hari di mana Imam Husain as menemui syahadah. Ini adalah hari berkabung bagi ratusan juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Apakah dianjurkan untuk berpuasa pada hari Asyura?
Puasa adalah ibadah yang sangat dianjurkan sepanjang tahun. Namun, tidak dianjurkan untuk berpuasa pada hari Asyura karena Dinasti Umayyah menyatakan hari itu hari perayaan. Dinasti Umayyahlah yang membuat banyak riwayat palsu yang mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang diberkati karena Allah menyelamatkan para nabiNya dan memberi mereka kemenangan. Mereka mengajar orang-orang untuk bersyukur kepada Allah Swt dengan berpuasa di hari Asyura agar mereka leluasa untuk membunuh Imam Husain as pada hari itu. Atau setidaknya orang akan melupakan kejahatan mereka atas pembunuhan sadisnya terhadap cucu Nabi Saw di hari tersebut karena dianggap sebagai hari bergembira. Untuk berempati terhadap Imam Husain as di hari Asyura, memang dianjurkan untuk menjauhkan diri dari makan dan minum selama beberapa waktu pada hari Asyura, karena beliau dan para sahabatnya dibunuh dalam keadaan haus dan lapar. Tetapi tidak disarankan untuk melakukan puasa secara khusus seperti puasa lainnya di hari itu. Ada hari-hari lain sepanjang tahun Islam yang sangat dianjurkan untuk berpuasa, dan berpuasa di hari Asyura bukan salah satunya.
Segelintir orang menyatakan bahwa Syiah yang bertanggung jawab atas kesyahidan Imam Husain as. Apakah itu benar?
Warga Kufah, Irak, mengirim ratusan surat kepada Imam Husain as dan meminta beliau mengunjungi mereka. Mereka juga meminta Imam Husain as menjadi pemimpin mereka. Mereka berjanji bahwa mereka akan menerima Imam Husain as sebagai pemimpin baru dan menolak kepemimpinan Yazid. Namun, gubernur Yazid di Kufah, Ibnu Ziyad yang dikenal bengis dan kejam, mengancam akan memenjarakan dan membunuh siapa saja yang akan mendukung Imam Husain as. Itulah sebabnya, sebagian besar dari mereka yang berjanji untuk mendukung Imam Husain as pada akhirnya mundur. Mereka mengingkari janjinya kepada Imam Husain as dan mengkhianatinya.
Maka muncullah kesalahpahaman bahwa Imam Husain as dibunuh oleh pengikutnya. Jelas tidak demikian faktanya. Pada hari Asyura, ketika Imam Husain as bertanya kepada musuh-musuhnya mengapa mereka ingin membunuhnya, dan kejahatan apa yang beliau telah dilakukan terhadap mereka, beberapa dari mereka menanggapi dengan jawaban, "Karena kami membenci ayahmu." Tak dapat dibayangkan bahwa mereka yang membenci Imam Ali as bisa disebut Syiah dan tak bisa dipahami jika kelompok pembenci Imam Ali as adalah pengikut Imam Husain as. Di antara komandan tentara Yazid, banyak di antara mereka adalah orang-orang yang dikenal kebenciannya terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw dan secara khusus kebencian mereka terhadap Imam Ali as.
Bahkan jika kita telaah secara singkat berbagai faksi dan kelompok di Kufah pada saat itu, kita akan mengetahui bahwa tidak semua dari mereka adalah pengikut Imam Husain as. Masyarakat Kufah sebagian besar dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, ada orang-orang yang setia kepada Dinasti Umayyah. Mereka dihidupi oleh pemerintah Yazid sebagai imbalan atas dukungan mereka yang tanpa syarat. Kelompok ini memiliki pengaruh yang kuat di Kufah, karena mereka memiliki akses ke banyak sumber daya dan kekayaan yang melimpah. Kelompok ini terkenal karena permusuhan mereka kepada Imam Husain as. Mereka tidak akan ragu-ragu untuk melawan Imam Husain as untuk menunjukkan kesetiaan dan dukungan mereka kepada Yazid.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak terlalu peduli terhadap kedua kelompok yang berhadap-hadapan itu. Mereka mencintai Imam Husain as dan tahu bahwa beliau akan menjadi pemimpin yang jauh lebih baik daripada Yazid karena mereka telah menyaksikan kekejaman Yazid. Tapi mereka tidak bersedia mengorbankan kepentingannya untuk mendukung Imam Husain as. Mereka hanya berharap bahwa Imam Husain as akan meraih kemenangan atas Yazid bagaimanapun caranya lalu memerintah mereka dengan adil. Mereka merasa takut mempersulit diri dan keluarga mereka sendiri jika mengambil resiko melawan Yazid. Kelompok kedua inilah yang merupakan kelompok terbesar di Kufah. Sekina banyak surat yang diterima Imam Husain as datang dari kelompok ini. Awalnya, mereka berpikir bahwa jika Imam Husain as hanya datang ke Kufah, beliau akan dengan mudah mengambil kekuasaan dan melengserkan Gubernur Yazid. Ketika menjadi jelas bagi mereka bahwa gubernur Yazid akan mengejar dan menghukum mereka jika mendukung Imam Husain as, dan bahwa mendukung Imam Husain as bukanlah tugas yang mudah, mereka akhirnya memilih mundur. Tentu saja kita tidak bisa mengklasifikasikan kelompok kedua ini sebagai pengikut Imam Husain as. Mereka hanya bersimpati kepada Imam Husain as dan lebih menyukai beliau sebagai pemimpin ketimbang Yazid, tapi mereka bukan Syiah.
Kelompok ketiga di Kufah, yang terkecil dan terlemah dalam hal kekuasaan politik dan ekonomi, adalah Syiah dan pengikut Imam Husain as. Banyak dari mereka berusaha untuk mendukung Imam Husain as, dan beberapa dari mereka berhasil mencapai Karbala untuk membela Imam Husain as. Namun, ketika beberapa dari mereka memang melakukan pengkhianatan dengan berlambat-lambat mendukung Imam Husain as, kelompok Syiah ini memang sudah terlambat untuk bergabung dengan gerakan Imam Husain as di Karbala. Contohnya adalah suku Bani Asad. Setelah mendengar bahwa Imam Husain as dikepung di Karbala oleh tentara Yazid, mereka berbaris ke Karbala untuk mendukung beliau. Tetapi ketika mereka tiba Karbala, mereka menyadari bahwa ternyata pertempuran telah berakhir dan Imam Husain as beserta sahabat-sahabatnya telah dipenggal.
Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa Syiah yang telah membunuh Imam Husain as. Walaupun mereka memang bisa melakukan banyak hal untuk menolong Imam Husain as (tetapi tidak dilakukan atau terlambat dilakukan), tapi mereka tidak bisa dituduh bertanggung jawab atas syahadah Imam Husain as dan pengikutnya. Dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab atas tragedi keji yang menimpa Imam Husain as adalah Dinasti Umayyah bersama seluruh pendukungnya.
Imam Husain as adalah cucu dari Nabi Muhammad Saw. Orang tuanya adalah Imam Ali as dan Sayyidah Fathimah as. Ia lahir di kota suci Madinah pada tahun 626 Masehi. Beliau berusia enam tahun ketika Nabi Muhammad Saw wafat, dan ia berusia tujuh tahun ketika ia menyaksikan kematian tragis ibunya, Sayyidah Fatimah as. Imam Husain as diakui sebagai seorang tokoh penegak keadilan, kukuh pada keyakinan, memegang teguh martabat, dan pejuang kemerdekaan yang memimpin salah satu revolusi yang paling signifikan di dalam sejarah manusia. Dia mengorbankan hidupnya, kehidupan anggota keluarga dan sahabatnya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan. Pada tahun 680 Masehi, ia secara brutal dibantai di dataran Karbala, Irak, bersama dengan tujuh belas anggota keluarganya dan lima puluh lima sahabatnya. Sepanjang sejarah, Imam Husain as telah mengilhami jutaan orang untuk melawan penindasan dan bekerja keras untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh umat manusia. Setiap tahun, pada hari ulang tahun syahadahnya, tepat di hari kesepuluh Muharram dalam kalender lunar Islam, ratusan juta orang di seluruh dunia memperingati kisah hidupnya dan berkabung atas tragedi itu.
Banyak orang sepanjang sejarah telah tertindas, dan ada banyak pejuang kemerdekaan dalam sejarah. Apa yang membuat Imam Husain as begitu istimewa?
Banyak orang sepanjang sejarah telah ditindas atau dianiaya secara brutal. Bahkan di era modern saat ini, penindasan masih banyak ditemukan dalam kejadian sehari-hari. Lalu mengapa Imam Husain as harus diperlakukan khusus? Mengapa tragedi hidupnya dianggap lebih menonjol bila dibandingkan dengan semua tragedi lainnya dalam sejarah? Ada beberapa alasan mengapa tragedi Imam Husain as lebih penting.
Pertama, Imam Husain as memiliki kepribadian, karakter dan status yang luar biasa. Beliau adalah cucu kinasih Nabi Muhammad Saw. Dia dipilih oleh Allah Swt untuk memimpin umat manusia. Tidak pernah sekalipun dalam hidupnya Imam Husain as melakukan kesalahan. Dia penyayang dan murah hati kepada siapapun, termasuk kepada musuh-musuhnya. Dia tidak pernah memiliki motif dan agenda politik pribadi. Ketika setiap orang yang tidak bersalah dianggap suci dan membunuh orang yang tidak bersalah adalah kejahatan besar, tindakan membunuh seseorang seperti pribadi Imam Husain as adalah kejahatan yang jauh lebih besar karena beliau menempati posisi yang penting. Petaka karena terbunuhnya Imam Husain as juga jauh lebih besar, dan dampaknya bagi Islam juga tak terbayangkan.
Kedua, alur tragedi Imam Husain as tidak bisa dibandingkan dengan yang lain. Selama hampir tiga hari sebelum dia dibunuh, dia bersama dengan keluarga dan para sahabatnya tidak diberi akses kepada sumber air. Dia menyaksikan sendiri anak-anak kecil menjerit dan menderita kehausan. Dia menyaksikan melemahnya bayi enam bulan di dataran panas Karbala ketika ibunya tidak bisa lagi menyusuinya. Kekejaman pembunuhnya bahkan semakin nyata ketika Imam Husain as dan para pengikutnya berkemah hanya beberapa ratus meter dari Sungai Efrat, tetapi karena jumlahnya sangat sedikit di mata musuh, mereka tidak diberi akses ke sungai bahkan hanya untuk mencari air minum.
Saat pertempuran terjadi pada hari kesepuluh Muharram, tahun 61 dalam kalender Islam, sejumlah sahabat Imam Husain as menemui syahadah. Musuh memulai pertempuran dengan menghujani Imam Husain as dan sahabat-sahabatnya dengan panah ketika beliau memimpin salat jamaah. Anggota pertama dari keluarga Imam Husain as yang dibantai adalah putra sulungnya sendiri, Ali Akbar. Sementara yang terakhir dibunuh adalah anak bayinya yang paling kecil, Ali Asghar. Ketika Imam Husain as menyadari bahwa bayinya itu hampir mati kehausan, dia membawanya dalam pelukannya dan berangkat ke medan perang tanpa senjata. Beliau mendatangi musuh-musuhnya lalu mengatakan kepada mereka bahwa bayi ini tak berdosa. Jika musuh-musuh itu berkeyakinan Imam Husain as telah melakukan dosa dengan tidak membaiat diktator dinasti Umayyah Yazid bin Mu'awiyah, lalu apa dosa bayi ini? Imam Husain as meminta musuhnya untuk memberikan air kepada sang bayi. Namun, alih-alih memberi air, musuh malah menembak bayi dengan anak panah. Imam Husain as menyaksikan bayinya dibunuh di dalam pelukannya. Kemudian pada hari itu juga, Imam Husain as diserang oleh tentara yang tak terhitung jumlahnya, yang menyerang setidaknya dengan tujuh puluh dua kali tembakan anak panah, tombak dan pedang, sampai akhirnya Imam Husain as dipenggal di dataran Karbala disaksikan beberapa wanita dan anak-anak dari perkemahan mereka.
Ketiga, tragedi tidak berakhir dengan pemenggalan kepala Imam Husain as. Semua perempuan yang bersamanya, termasuk anak-anak, dibawa sebagai tawanan perang. Di perang itu, anak-anak telah kehilangan ayah mereka, paman dan saudara; demikian pula perempuan kehilangan suami mereka. Namun, ketika mereka menangis, mereka tanpa ampun dipukuli oleh musuh. Itu adalah perlakuan yang mereka terima. Kemudian mereka diarak dari kota ke kota, sampai ke kota Damaskus, pusat pemerintahan Yazid yang despotis. Sepanjang jalan mereka dipermalukan. Mereka dibiarkan dalam kondisi yang buruk dan kelaparan, karenanya beberapa anak meninggal di jalan. Putri Imam Husain as yang berusia tiga tahun, Ruqayya, meninggal tak lama setelah mereka tiba di Damaskus. Bahkan, para wanita dan anak-anak terus-menerus diperlihatkan adegan mengerikan, kepala Imam Husain as ditancapkan di atas tombak dan diarak dari Karbala ke Damaskus. Untuk menambah penghinaan terhadap para tawanan perempuan itu, ketika mereka tiba di Damaskus, Yazid telah mengumumkan hari itu sebagai hari pesta pora. Jalan-jalan di Damaskus penuh sesak dengan kegembiraan atas terbunuhnya Imam Husain as. Banyak warga Damaskus telah dicuci otak dan tidak tahu siapa sebenarnya Imam Husain as dan keluarganya. Yazid telah menyebarkan berita kepada penduduk Damaskus bahwa mereka sedang merayakan kekalahan kelompok bid’ah yang kafir.
Keempat, Imam Husain as menolak untuk membaiat Yazid bukan karena ia bercita-cita untuk mencapai status politik di wilayah Islam pada waktu itu. Satu-satunya tujuan beliau adalah untuk melawan kejahatan dan ketidakadilan, serta untuk menyelamatkan kaum muslimin dari pemerintah Yazid yang despotis. Imam Husain as ingin membebaskan kaum muslimin, memberikan mereka kemerdekaan, martabat dan kehormatan. Beliau ingin menyelamatkan agama Islam dari tangan-tangan jahat yang membajak Islam untuk kepentingan pribadi. Ketika dalam sejarah Islam banyak mujahid berjuang untuk tujuan mulia, kelompok Yazid justru berperang untuk memperoleh status politik atau mendapatkan imbalan duniawi. Ini adalah sifat manusia untuk mengejar kepentingannya sendiri, dan inilah kepentingan pribadi yang telah mendorong banyak orang yang muncul di dalam sejarah. Tapi Imam Husain as berbeda, Imam Husain as berjuang semata-mata untuk Allah dan kemanusiaan. Beliau tak mengharapkan imbalan apapun. Dalam sebuah puisi Arab yang indah, Imam Husain as dengan fasih merangkum niat sucinya mencari keridhaan Allah:
Telah kutinggalkan dunia dan seisinya karenaMu,
Telah menjadi yatim anak-anakku agar aku bisa bertemu denganMu,
Sekiranya tubuhku dicincang karena kecintaanku padaMu
Hatiku tak akan pernah bersandar kepada selainMu.
Oleh karena itu, ketika kita mempertimbangkan faktor-faktor di atas selain faktor-faktor lain yang jauh lebih banyak, kita menyadari bahwa tragedi Imam Husain as memegang peranan penting di dalam sejarah. Tragedi Imam Husain as adalah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah umat manusia, tragedi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Mengapa Muslim Syiah berkabung atas Imam Husain as?
Sejak hari syahadah Imam Husain as, para pengikutnya memulai satu tradisi berkabung mengenang tragedi tersebut yang berlanjut sampai hari ini. Setiap tahun, ratusan juta Muslim Syiah, di samping banyak Muslim Sunni lainnya, bahkan banyak non-Muslim, berdukacita dan memperingati tragedi itu. Kami mengenang tragedi Imam Husain as untuk tetap menjaga dan menghidupkan pesannya. Kami menangisinya dalam rangka melestarikan nilai-nilai perjuangannya. Dengan berkabung ini, kita menyampaikan pesan bahwa pada dasarnya kita menolak ketidakadilan dalam segala bentuknya. Dengan berkabung ini pula, kita menunjukkan perjuangan untuk keadilan, kebebasan, martabat dan kehormatan manusia. Imam Husain as menyelamatkan agama Islam dari kejahatan Yazid dan dinastinya. Kami selamanya berhutang budi kepada perjuangan Imam Husain as. Kami berduka untuk beliau demi mengucapkan terima kasih atas upaya-upaya besarnya dan untuk menghargai pengorbanannya. Dengan berkabung atas Imam Husain as, kami mampu memurnikan jiwa dari dosa-dosa, ketidakadilan, dan keburukan. Asyura adalah masa berkabung yang memberikan kita kesempatan untuk lebih terhubung dengan Imam Husain as dan nilai-nilai perjuangannya, Asyura juga menjadi sarana untuk memperbaiki diri kita sendiri dan untuk mencapai kebaikan yang lebih tinggi. Dengan berkabung atas tragedi itu, kita mendorong diri kita untuk bekerja lebih keras demi menegakkan keadilan. Setiap air mata yang kita cucurkan adalah energi dan penguat yang akan memotivasi kita untuk bekerja siang dan malam demi tegaknya keadilan sosial, kukuhnya kepatuhan pada hukum-hukum Allah, dan untuk memenuhi kewajiban kita di dalam agama, moral dan etika.
Sepanjang sejarah, berbagai kelompok masyarakat di dunia ini menyatakan duka cita atas tragedi Imam Husain as dengan cara budaya mereka sendiri, dan kami menghormati semua budaya itu. Selain memperingati tragedi Imam Husain as dan bagaimana mengambil hikmah dari ajaran-ajarannya, di berbagai belahan bumi, masyarakat juga mengadakan kajian spiritual dan forum pendidikan di bulan Muharram untuk mendiskusikan wacana spiritual, kekeluargaan dan isu sosial lainnya.
Mengapa Tuhan membiarkan peristiwa tragis seperti itu terjadi?
Banyak orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin Allah Swt yang Rahman dan Rahimmembiarkan kejahatan keji terjadi sepanjang sejarah, khususnya tragedi Imam Husain as? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama kita harus mengingat alasan mengapa Tuhan menempatkan kita di dunia ini. Tuhan menciptakan kita di dunia ini untuk menguji kita. Bayangkan bahwa hidup ini ibarat ruang ujian yang besar dan luas. Di ujian ini, kita harus menunjukkan apakah kita adalah orang-orang baik yang pantas masuk surga atau tidak. Sekiranya Tuhan memaksa kita untuk tidak bisa melakukan tindakan kejahatan apapun, maka ujian ini menjadi non sense, tak ada gunanya. Mirip dengan ujian pilihan ganda. Setiap pertanyaan memiliki beberapa alternatif jawaban yang bisa dipilih. Jika semua jawaban itu benar, dan jawaban apapun yang Anda pilih pasti benar, maka ujian itu bukanlah ujian yang sebenarnya. Namun, jika ada jawaban yang salah di antara jawaban yang benar, dan Anda harus berusaha untuk menemukan jawaban yang tepat (yang bisa diketahui jika telah belajar untuk mempersiapkan diri menghadapi ujian itu), maka itulah ujian yang sesungguhnya. Profesor yang membuat soal tersebut tentulah orang yang telah memasukkan jawaban salah ke dalam soal ujian itu. Dapatkah kita menyimpulkan bahwa profesor pembuat soal itu tidak Pengasih karena ia telah menambahkan jawaban yang salah? Profesor itu pasti telah memahami bagaimana ia seharusnya menguji murid-muridnya, dan menambahkan jawaban yang salah dalam soal pilihan ganda itu adalah bagian dari metode pengujian terhadap murid-muridnya.
Demikian pula, Allah membiarkan kejahatan terjadi di muka bumi untuk menjadi ujian dan agar kita bisa memilih jalan yang benar. Dengan membandingkan antara kebaikan dan keburukan, kita bisa memahami nilai kebaikan yang tinggi. Jika segala sesuatu di muka bumi ini adalah kebaikan, maka kita tidak akan bisa memahami nilai kebaikan itu sendiri. Apa yang telah menimpa Imam Husain as merepresentasikan puncak kejahatan, namun Allah mengijinkan hal itu terjadi untuk sejumlah alasan. Pertama, Allah menguji kaum Muslimin saat itu apakah mereka akan menolong Imam Husain as dan melawan penindasan, atau mereka akan berpihak kepada Yazid dan meninggalkan kewajiban agama dan moral mereka. Kedua, melalui penderitaan, Imam Husain as diberikan kedudukan tinggi di sisi Allah Swt. Allah telah menyediakan tempat khusus bagi Imam Husain as di surga bersama datuknya Nabi Muhammad Saw. Selain itu, Allah Swt menanamkan cinta kepada Imam Husain as di hati jutaan manusia yang mengunjungi makamnya dan memperingati tragedinya setiap tahun. Ketiga, tragedi Imam Husain as berfungsi sebagai pengingat bahwa keadilan, kemerdekaan dan martabat yang kita miliki tidak disuguhkan kepada kita dengan piring emas. Kita harus bekerja keras untuk mewujudkan keadilan sosial di muka bumi ini.
Apakah Imam Husain as tahu bahwa dia akhirnya akan dibunuh? Jika dia tahu, mengapa ia pergi ke Irak?
Imam Husain as tidak diragukan lagi tahu bahwa nasib tragis telah menunggunya. Pada banyak kesempatan Nabi Muhammad Saw telah menyampaikan kepada kaum muslimin bahwa cucunya Husain as akan dibunuh secara tidak adil di Karbala. Berbagai riwayat yang sahih dan catatan sejarah yang terpercaya telah memberitahu kita bahwa ketika Imam Husain as dilahirkan di Madinah, Nabi Muhammad terlihat menangis saat itu. Ketika ditanya mengapa, beliau menjelaskan bahwa ia menangisi nasib tragis yang akan menimpa cucunya. Sampai sisa hidup Nabi Saw yang berlangsung sekitar 6 tahun setelah kelahiran Imam Husain as, Nabi sering berbicara tentang syahadah cucunya. Bahkan Rasulullah Saw sering berdoa agar memutus syafaatnya bagi pembunuh Imam Husain as dan menghukum mereka pada hari kiamat. Imam Ali as juga berbicara tentang tragedi Karbala. Dalam salah satu perjalanannya yang melintasi Irak, ia menyampaikan nubuat kepada para sahabatnya tentang tragedi Karbala. Hal itu disampaikannya tepat ketika mereka melewati tanah di mana Imam Husain as kelak terbunuh, tempat yang kemudian dikenal dengan nama Karbala.
Oleh karena itu, tidak masuk akal jika Imam Husain as tidak mengetahui tragedi Karbala. Ia sepenuhnya menyadari nasib tragis yang menantinya. Beberapa sarjana dan sejarawan dangkal menuduh Imam Husain as tidak begitu bijaksana ketika ia meninggalkan Madinah menuju Irak. Mereka berpendapat bahwa Imam Husain as seharusnya tidak tertipu oleh janji-janji rakyat Irak untuk mendukung revolusi itu, karena mereka dikenal dengan pengkhianatan mereka, terutama pengkhianatan mereka terhadap ayah dan kakaknya (Imam Ali as dan Imam Hasan as). Namun perlu ditegaskan, Imam Husain as tidak berangkat ke Irak dengan niat merebut wilayah tersebut dari Dinasti Umayyah yang korup lalu membentuk pemerintahan di sana. Imam Husain berangkat ke Irak untuk memenuhi kewajibannya - membangkitkan umat Islam dari sihir rezim despotik Yazid. Dia memimpin sebuah revolusi untuk melawan ketidakadilan dan menyelamatkan ajaran Islam. Walaupun revolusi itu harus dibayar dengan jiwa Imam Husain as, tapi mengorbankan hidupnya demi Tuhan dan menyelamatkan Islam adalah jihad tertinggi.
Sebagai contoh, bayangkan seseorang yang didiagnosa menderita kanker di salah satu anggota tubuhnya. Dia diberitahu oleh dokter bahwa pilihan tindakan yang bisa diambil adalah anggota badannya diamputasi untuk menghentikan penyebaran kanker demi menyelamatkan nyawanya; atau kanker itu dibiarkan saja dengan resiko menghadapi kematian yang lebih cepat. Tidak ada orang waras yang ragu untuk mengamputasi anggota tubuhnya, jika terbukti bahwa dengan mengamputasi anggota badannya tersebut, ia akan menyelamatkan hidupnya. Demikian pula Imam Husain as. Beliau telah menyaksikan dekadensi moral di dunia Islam saat itu, terlebih ketika Dinasti Umayyah terus-menerus menghancurkan agama Islam dengan kedok Islam pula. Satu-satunya cara bagi Imam Husain as untuk menyelamatkan Islam dan membangunkan kaum muslimin saat itu adalah dengan mengorbankan hidupnya.
Maka ketika Imam Husain as meninggalkan Madinah, saudara sebapak Imam Husain as, Muhammad ibn al-Hanafiyyah, telah memperingatkan beliau bahwa rakyat Irak akan mengkhianatinya dan dia akan terbunuh. Namun, Imam Husain as menjawab, "Allah telah menghendaki syahadah untukku." Dengan kata lain, Imam Husain as memberitahu saudaranya bahwa Allah telah merencanakan beliau harus menyelamatkan Islam melalui syahadah yang agung.
Mengapa Imam Husain as membawa perempuan dan anak-anak bersamanya pada tragedy Asyura?
Ketika Imam Husain as berangkat dari kampung halamannya di Madinah menuju Irak pada tahun 680 Masehi, ia membawa anak-anaknya dan perempuan dari keluarganya, termasuk saudara dan keponakannya. Imam Husain as memenuhi panggilan Allah dengan membawa keluarganya. Ada dua alasan utama mengapa ia membawa keluarganya pada waktu itu, padahal beliau tahu bahwa perjalanan mereka akan sangat sulit dan bahaya terbentang di hadapan mereka.
Pertama, niat Imam Husain as semata-mata karena Allah. Beliau sama sekali tidak pernah bercita-cita untuk mencari status politik atau keuntungan duniawi. Dalam salah satu riwayat, Imam Husain as mengatakan, "Saya tidak bangkit untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas, saya pun tak berkeinginan menyebarkan kebatilan. Saya tak bangkit menjadi penindas, pun tak berkehendak melakukan kerusakan. Saya bangkit untuk menegakkan kembali ajaran datukku Muhammad Saw. Saya bangkit untuk menyerukan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan menegakkan kembali warisan kakek saya dan ayah saya Ali as." Untuk menunjukkan bahwa dia mencari keridhaan Allah Swt dalam misinya, Imam Husain as membawa keluarga bersamanya. Charles Dickens menyatakan hal ini dengan tepat, "Sekiranya Imam Husain as berjuang hanya untuk memuaskan keinginan duniawi, saya tidak melihat alasan mengapa dia harus membawa adik, istri, dan anak-anaknya. Oleh karena itu, Imam Husain as sejatinya berkorban hanya untuk Islam." Jika Imam Husain as hanya mengejar kedudukan duniawi, mengapa ia membahayakan keluarganya dan membawa mereka dalam perjalanan yang berbahaya? Keikutsertaan keluarganya adalah bukti yang kuat bahwa misi Imam Husain as murni didedikasikan untuk Allah Swt dan kemanusiaan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Kedua, Imam Husain as benar-benar tahu bahwa Dinasti Umayyah, yang berada di bawah kepemimpinan Yazid pada saat itu, adalah seorang ahli dan penipu ulung yang sangat lihai mencuci otak masyarakat Islam dengan informasi-informasi bohong. Mereka memiliki mesin propaganda yang kuat yang langsung didanai oleh pemerintahannya. Mereka menghabiskan jutaan koin emas (dinar) untuk mengutak-atik ajaran Nabi Muhammad, mendistorsi pesannya, dan memalsukan ajaran Al Qur'an yang suci. Selama beberapa dekade, mereka telah menyebar kebohongan terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw, terutama ayah Imam Husain as, Imam Ali as. Mereka mengutuk Imam Ali as dalam khotbah-khotbah mereka, dan menyebarkan kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa Imam Ali as adalah musuh Allah yang kafir. Imam Husain as tahu sekali bahwa sekiranya beliau terbunuh di Irak dalam keadaan sendirian, tidak akan ada orang lain yang akan menyampaikan kepada dunia apa yang sebenarnya terjadi di Karbala. Tidak akan ada orang yang akan mengekspos rencana jahat Yazid dan menyadarkan kaum muslimin perihal kezalimannya. Satu-satunya kelompok yang bisa melakukan tugas ini adalah perempuan dan anak-anak Imam Husain as sendiri. Dan memang terbukti, dunia mengetahui tragedi Karbala melalui mata dan telinga dari para perempuan dan anak-anak Imam Husain as. Merekalah yang menceritakan kepada dunia apa yang terjadi di Karbala dan bagaimana kezaliman yang telah dilakukan oleh Yazid. Anak-anak dan perempuan itu memang menderita, tetapi itulah satu-satunya cara untuk menyelamatkan orang-orang dari pemerintahan Yazid yang jahat. Adik Imam Husain as, Sayyidah Zainab, memainkan peran penting dalam mengungkap kezaliman Yazid dan memberikan informasi yang benar kepada kaum muslimin. Dia menyampaikan pesan dari kakaknya, Imam Husain as, ke seluruh penjuru dunia. Hingga hari ini, Zainab dikenang dan diakui oleh jutaan orang sebagai pahlawan sejati dan jawara yang membawa pesan Imam Husain as, beliau telah menjadi penyelamat agama Islam.
Bagaimana Imam Husain as mengajarkan kita kebebasan, martabat manusia dan keadilan?
Kita belajar tentang nilai-nilai keadilan, kebebasan dan kemanusiaan dari Imam Husain as dengan beberapa cara.
Pertama, Imam Husain as mengajarkan bahwa mati untuk mempertahankan kehormatan lebih baik daripada hidup dalam kehinaan. Tujuan kita bukan hanya untuk hidup saja. Kita harus memiliki tujuan mulia di balik kehidupan kita ini. Hidup yang diisi dengan eksploitasi dan penindasan terhadap orang lain, berdiam diri di depan ketidakadilan, dan hidup yang menafikan keadilan bukanlah hidup yang pantas dijalani. Di dalam hidup kita saat ini, kita harusnya memuliakan hidup sendiri dengan bekerja untuk tujuan yang benar. Sekiranya menegakkan keadilan mengharuskan kita mengorbankan waktu, kekayaan dan kehidupan, kita mestinya tidak boleh ragu-ragu untuk melakukannya. Jika di dalam hidup ini kita hanya menerima penghinaan yang tidak adil, maka kehidupan semacam itu tidak layak dijalani. Oleh karena itu, Imam Husain as pernah mengatakan, "Saya tak melihat kematian (untuk tujuan yang benar) selain kebahagiaan semata, dan saya tak melihat kehidupan bersama penindas kecuali sebagai penderitaan."
Kedua, Imam Husain as bukan hanya mengajarkan bagaimana caranya bebas dari tirani dan kezaliman, tetapi juga bagaimana caranya kita bisa mengalahkan keinginan dan godaan duniawi. Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya bukanlah manusia yang merdeka. Pada hakikatnya mereka adalah budak. Di dunia modern saat ini, dengan banyaknya gangguan dan godaan untuk memenuhi hawa nafsu dengan cara yang tidak benar, pesan Imam Husain as menjadi jauh lebih relevan disbanding sebelumnya. Seseorang tidak akan mampu mencapai kesuksesan tanpa bisa mengatur keinginannya dan memperkuat pemihakannya kepada hal-hal yang benar. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak orang memerangi Imam Husain as di hari Asyura adalah karena mereka diperbudak oleh hawa nafsunya. Mereka mengisi kehidupannya dengan cara-cara yang tidak benar, bahkan sering dengan menginjak-injak hak orang lain. Meskipun teknologi yang serba cepat saat ini memaksa kita mencari kesenangan instan, kita harusnya bisa memanfaatkan waktu singkat ini untuk kesuksesan yang lebih panjang.
Ketiga, Imam Husain as mengajarkan kita bahwa kehidupan orang beriman bukanlah jalan yang dihiasi dengan kembang dan karpet merah. Hidup ini penuh dengan kesulitan dan kita mestinya selalu siap untuk menghadapinya. Tujuan hidup kita bukanlah untuk mendapatkan kesenangan walau harus dibayar dengan harga berapapun. Kita harus membuat keputusan yang tepat, bukan keputusan yang mudah. Di dalam hidup ini ada masanya kita harus berkorban. Dalam konteks ini, pengorbanan itu tak harus dilihat sebagai beban, tetapi justru sebagai kesempatan dan rahmat yang melaluinya kita bisa mencapai kesempurnaan dan meninggikan maqam spiritual. Kita harus berjuang untuk keadilan sosial dan kesejajaran. Kita harus berjuang untuk mencapai kesetaraan ekonomi dan memenuhi tugas kita dalam melawan kemiskinan. Setiap hari, hamper 30.000 anak meninggal karena kemiskinan, kekurangan gizi dan keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Betapa banyak masyarakat di berbagai belahan bumi yang terpinggirkan sekaligus dieksploitasi oleh kelompok yang lebih kuat. Inilah yang harus kita tuntaskan.
Keempat, Imam Husain as jelas mengajarkan kita bahwa apa yang benar tidak selalu populer, dan apa yang populer tidak selalu benar. Kebanyakan orang saat jamannya memilih untuk mengikuti arus. Mereka puas dengan status quo. Hanya beberapa sahabat yang mulia memutuskan untuk pergi melawan arus dan memilih apa yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi, yang merupakan salah satu komandan tentara Yazid, menemukan dirinya gemetar. Rekan-rekannya, terkejut, mengatakan bahwa ia adalah salah satu prajurit pAli asng berani yang pernah mereka tahu, jadi bagaimana bisa ia dipukul dengan sikap pengecut dalam menghadapi memerangi Imam Husain as? Dia terkenal menjawab mereka, "Aku mendapati diriku di antara surga dan neraka, dan demi Tuhan, aku tidak akan memilih apa pun atas langit." Dia meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan kamp Imam Husain as, dan ia menjadi salah satu dari para martir pertama dari pertempuran membela Imam Husain as.
Kelima, Imam Husain as dengan terang mengajarkan kepada kita bahwa kebenaran tidak selalu popular serta apa yang popular belum tentu adalah kebenaran. Pada masa beliau, kebanyakan orang memilih ikut arus saja. Mereka puas dengan status quo. Hanya segelintir orang terhormat yang memilih jalan yang benar. Pada hari Asyura, Hurr Ibn Yazid al-Riyahi yang merupakan salah seorang pemimpin pasukan tentara Yazid, mengalami goncangan kejiwaan yang hebat. Kawan-kawannya yang juga terkejut melihat perubahan al-Hurr yang tiba-tiba, memberinya nasehat sembari mengatakan bahwa al-Hurr adalah salah seorang tentara pemberani yang terkenal, lalu bagaimana mungkin al-Hurr tiba-tiba menjadi seorang pengecut ketika berhadapan dengan Imam Husain as? Namun jawaban al-Hurr sangat menyentak, “Saya menemukan diriku di antara surge dan neraka, dan demi Allah, saya tidak akan menukar surga dengan apapun”. Al-Hurr meninggalkan pasukannya dan bergabung dengan pasukan Imam Husain as. Beliau menjadi salah seorang syahid pertama yang gugur dari pasukan Imam Husain as.
Keenam, tragedi Karbala memberikan kita pelajaran indah dari sebuah kesetiaan. Sekiranya orang-orang Kufah itu tetap setia kepada Imam Husain as, mungkin saja perang itu bisa dihindarkan. Pengkhianatan orang-orang Kufah itu menjadi salah satu faktor penting penyebab perang Karbala. Sebaliknya, 70 atau lebih sahabat Imam Husain as telah mencapai puncak kesetiaannya di hari Asyura dengan tetap berada bersama Imam Husain as dan melindungi beliau dengan segala cara. Wahab al-Kalbi, salah seorang sahabat Imam Husain as berasal dari suku yang beragama Kristen. Mendengar seruan Imam Husain as, beliau lalu masuk Islam dan bergabung dengan kafilah Imam Husain as untuk mengucap janji setia. Istri dan Ibu Wahab juga kemudian mengikutinya. Ketika ibunya menyemangatinya maju ke medan perang saat perang dimulai, istrinya justru meminta agar Wahab tak pergi. Memang, mereka adalah sepasang pengantin baru waktu itu. Sang istri baru saja memulai hidup baru dengan suaminya, lalu bagaimana mungkin dia akan merelakannya pergi berperang secepat itu? Wahab mendengarkan Ibunya dan berlari ke medan perang. Saat Wahab melawan musuh-musuhnya dengan gagah berani, dia melihat istrinya maju ke medan perang yang sama sambal berteriak, “Wahab, teruskan perjuanganmu. Lindungilah cucu Baginda Nabi!”. Wahab menjawab istrinya dengan keheranan, “Istriku, beberapa saat yang lalu engkau melarangku ke medan perang, mengapa tiba-tiba engkau datang untuk menyemangatiku?” Istrinya menjawab, “Wahab suamiku, jangan salahkan aku, teriakan Husain telah menyayat hatiku! Aku telah melihat beliau bersandar ke salah satu tenda dan berkata ‘Adakah orang yang hendak menolong kami? Adakah orang yang ingin mendukung kami? Tak adakah seorangpun yang hendak melindungi keluarga Muhammad?’ Oh Wahab suamiku, teruskanlah perjuanganmu membela Imam Husain as. Ketika musuh melihat istri Wahab menyemangati suaminya, musuh tak hanya berusaha membunuh Wahab, tetapi juga istrinya sekaligus. Istri Wahab kemudian tercatat menjadi syahidah pertama di Karbala. Betapa menjadi pelajaran indah tentang kesetiaan. Di dunia kita saat ini, kita mestinya belajar dari pelajaran berharga ini bagaimana harusnya kita setia kepada nilai-nilai agama dan moral, kepada orang tua, keluarga, sahabat, dan kerabat lainnya. Menusuk mereka dari belakang dan menjatuhkannya ketika mereka sangat membutuhkan kita adalah sebuah dosa besar di sisi Allah Swt. Tak ada perbuatan yang lebih mulia di sisi Allah selain membantu mereka yang membutuhkan.
Siapa yang memulai pertempuran di Karbala? Apakah Imam Husain as benar-benar ingin melawan musuh-musuhnya?
Imam Husain as telah mencoba segala upaya untuk menghindari pertempuran. Namun sebaliknya, musuh-musuh beliau telah bertekad untuk membunuhnya. Di Karbala, sebelum perang di mulai, Imam Husain as telah berjanji kepada mereka bahwa beliau akan kembali ke Madinah dan tidak akan melanjutkan perjalanan mereka ke Kufah. Tapi musuh-musuh Imam Husain as menolak tawaran itu. Imam Husain as lalu mengatakan bahwa beliau akan pergi jauh demi menghindari pertumpahan darah itu, mereka juga menolaknya. Imam Husain as bukanlah orang yang menghendaki peperangan. Misi beliau adalah melawan penindasan dan mengembalikan masyarakat Islam yang telah dibangun oleh kakeknya. Berbaiat kepada diktator Yazid bukanlah opsi baginya, karena hal itu bertentangan dengan pesan keadilan yang didengungkannya. Mengakui pemerintah zalim seperti Yazid berarti mengakui prilaku buruk dan kejahatannya yang berbahaya bagi kemanusiaan. Namun di hari Asyura, Imam Husain as tetap menolak untuk memulai perang. Beliau berkata kepada para sahabatnya, “Saya tidak akan memulai peperangan”. Dan ketika Imam Husain as sedang salat berjamaah dengan para sahabatnya, musuh memulai perang dengan menembakkan anak panah ke arah mereka.
Kapan Imam Husain as tiba Karbala, dan Bagaimana Urutan Peristiwanya?
Pada hari kedua Muharram, tahun 61 AH (680 M), kafilah Imam Husain as tiba di padang Karbala. Beliau bertanya kepada para sahabatnya tentang nama daerah tersebut. Dia diberitahukan beberapa nama sampai akhirnya disebutkan padanya bahwa daerah itu bernama Karbala. Dalam bahasa Arab, kata Karbala merupakan gabungan dari dua kata: Karb dan bala', yang berarti penderitaan dan bencana. Benar, tanah itu akan menjadi tempat duka dan bencana dalam beberapa hari kemudian. Setelah mengetahui bahwa daerah itu adalah Karbala, Imam Husain as memerintahkan para sahabatnya untuk membangun tenda. Dia mengatakan kepada mereka, "Di sinilah kita akan tinggal. Di sinilah anak-anak kita akan dibantai. Di sinilah orang-orang kita akan dibunuh. Di sinilah perempuan kita akan diambil sebagai tawanan."
Pasukan pertama tentara Yazid yang mencegat Imam Husain as dan menghentikan beliau agar tidak melanjutkan perjalanannya ke Kufah (yang jaraknya sekitar 50 km sebelah selatan Karbala) terdiri dari 1.000 tentara di bawah kepemimpinan al-Hurr. Pada hari ketiga Muharram, Umar Ibn Sa'ad, panglima tentara Yazid, menyusul tiba di Karbala dengan 4.000 tentara. Pada hari kelima Muharram, semakin banyak tentara dan pasukan bergabung dengan tentara dari Umar Ibn Sa'ad. Beberapa sejarawan menyebutkan angka yang berbeda untuk jumlah tentara Yazid yang hadir ketika pertempuran terjadi. Namun, angka-angka yang mereka sebutkan berkisar antara 15.000 sampai 35.000 orang.
Pada hari-hari menjelang pertempuran, Imam Husain as bertemu dengan Umar Ibn Sa'ad dan berusaha membujuknya untuk mencegah terjadinya pertempuran. Dalam satu percakapan, Imam Husain as bertanya “Apakah kamu tidak tahu siapa aku? Mengapa kalian ingin membunuhku?” Umar mengatakan bahwa ia tidak punya pilihan selain melawan Imam Husain as dan para sahabatnya. Imam Husain as bertanya mengapa? Umar mengatakan bahwa jika dia menolak perintah itu, pemerintahan Yazid akan menghancurkan rumahnya. Imam Husain as lalu berjanji bahwa beliau akan memberinya sebuah rumah jika ia mencegah terjadinya pertempuran. Namun, Umar menolak tawarannya. Umar menambahkan alasan lain dengan mengatakan bahwa ia takut Yazid akan menyita lahan pertanian, desa dan harta benda miliknya. Imam Husain as kemudian berjanji lagi bahwa ia akan memberikannya kompensasi, tapi Umar tetap saja dengan keinginan jahatnya. Umar berkata kepada Imam Husain as bahwa Ibnu Ziyad, gubernur Yazid di Kufah, telah berjanji untuk menunjuknya sebagai gubernur di Ray (kota Teheran sekarang) sebagai imbalan jika ia berhasil membunuh Imam Husain as. Umar adalah orang yang hanya memikirkan diri sendiri, larut dalam keinginan jahat, dan ia terlalu lemah untuk melawan nafsu buruknya itu. Dia rakus kekuasaan, bahkan jika kekuasaan itu dia akan dapatkan dengan membunuh cucu Nabi Muhammad Saw. Dan terakhir, tak ada yang bisa menghalanginya berperang dan membunuh Imam Husain as.
Pada hari kedelapan Muharram, perkemahan Imam Husain as kehabisan air. Saudara laki-laki Imam Husain as, Abbas, berhasil mengusir tentara Yazid yang menjaga tepi sungai. Abbas bisa mendapatkan air, tapi itulah upaya terakhir yang berhasil mendapatkan air untuk para wanita dan anak-anak. Setelah itu, tentara Yazid memblokir mereka dari akses air ke sungai. Segera setelah persediaan air mereka habis, di dataran panas Karbala, anak-anak mulai menderita kehausan. Pada hari kesembilan Muharram, Shimr, manusia laknat yang kemudian akan memenggal kepala Imam Husain as keesokan harinya, tiba dengan perintah dari Ibnu Ziyad. Syimr memaksa Imam Husain as untuk berbai'at kepada Yazid atau dia akan dibunuh. Imam Husain as menolak untuk berbaiat. Pada malam Asyura, tentara Yazid memutuskan untuk memulai pertempuran. Imam Husain as mengirim saudaranya Abbas menemui musuh untuk meminta perpanjangan waktu satu malam saja. Imam Husain as mengatakan, "Saya ingin menghabiskan malam terakhir ini berdoa kepada Allah, dan Allah tahu betapa aku menyukai doa." Musuh menyetujui permintaan tersebut. Maka pada malam itu, para sahabat Imam Husain as larut dalam doa dan munajat, sementara di sisi yang lain tentara Yazid merayakan malam itu dengan menari dan minum minuman keras. Para sahabat Imam Husain as menghabiskan sedikit waktu yang tersisa bersama keluarga mereka, merasa bahwa malam itu adalah kebersamaan mereka yang terakhir. Imam Husain as kemudian mengumpulkan sahabat-sahabatnya dan mengatakan bahwa mereka tidak punya kewajiban untuk tinggal bersamanya dan bertempur melawan tentara Yazid. Mereka dipersilahkan meninggalkan Imam Husain as jika mereka mau. Tetapi mereka semua menolak. Mereka merasa terhormat untuk berjuang bersama cucu Nabi Muhammad Saw dan menjadi syuhada di jalan Allah.
Pada malam Asyura, Imam Husain as mengumpulkan perempuan dan anak-anak dan memberitahukan bahwa perjalanan yang sangat sulit menanti mereka. Dia meminta mereka untuk tetap bersabar sekiranya beliau terbunuh dan jika mereka akan dibawa sebagai tawanan. Beliau mendelegasikan tugas mengurus perempuan dan anak-anak kepada adiknya, Sayyidah Zaynab as. Imam Husain as juga memerintahkan keluarganya untuk mematuhi anaknya yang sakit, Ali Zainal Abidin, jika akhirnya beliau syahid. Ali as sedang sakit parah saat itu sehingga beliau terlalu lemah untuk ikut di dalam pertempuran. Ali Zainal Abidin akan menjadi penerus Imam Husain as. Pada hari Asyura di hari kesepuluh Muharram, tak lama setelah fajar, pertempuran pun terjadi. Satu per satu, para sahabat Imam Husain as syahid di tanah Karbala. Demikian juga anggota keluarganya, termasuk putra tertuanya, keponakannya, empat saudara sebapaknya, dan anak bayinya Ali Asghar yang syahid di dalam gendongannya. Kemudian pada hari itu, di sore hari, Imam Husain as dikelilingi oleh musuh, dan dengan cara paling kejam yang tak terlukiskan, dia syahid menemui Tuhannya.
Apakah Hasil dari Revolusi Imam Husain as?
Revolusi Imam Husain as melahirkan kekagetan luar biasa di dunia Islam, menggema ke segenap pelosok dan membangunkan seluruh kaum muslimin saat itu. Tidak lama setelah tragedi Karbala, Dinasti Umayyah runtuh. Selepas tragedi Karbala, revolusi bermunculan untuk melawan penindasan Dinasti Umayyah. Imam Husain as berhasil membangkitkan dunia Islam dan membukakan mata mereka akan kejahatan Yazid. Revolusi Imam Husain as juga menjadi patron abadi harapan bangsa-bangsa tertindas di seluruh dunia. Revolusi Imam Husain as memberi peta jalan bagaimana mencapai kemenangan dengan meruntuhkan ketidakadilan. Seorang sarjana Sunni, Ajmiri, dengan indah melukiskan dalam kalimatnya, "Kelahiran Islam berhutang kepada Muhammad Saw, Kelangsungan hidupnya berhutang kepada Husain as." Revolusi Imam Husain as menyelamatkan agama Islam dari tangan kotor Dinasti Umayyah. Mereka memiliki misi jahat untuk merubah setiap jengkal ajaran Islam. Mereka menciptakan mesin propaganda yang kuat - terdiri dari para penyair, ahli pidato, ulama korup dan kepala-kepala suku - untuk mencuci otak orang-orang Islam dan menjauhkan mereka dari ajaran Islam yang sejati. Yazid adalah orang korup yang dikenal karena melakukan perzinahan dan inses secara teratur. Dia adalah seorang peminum khamar yang bahkan kadang-kadang dalam keadaan mabuk hendak menjadi imam salat berjamaah. Dia tidak memiliki nilai apa-apa bagi kehidupan manusia. Dia membunuh puluhan ribu orang yang tidak berdosa. Kemiskinan merajalela di wilayah kekuasaannya. Hanya mereka yang setia kepadanya dan mendukungnya secara aktif yang akan menikmati kelimpahan materi. Semua kekejamannya dilakukan atas nama Islam. Seandainya bukan karena revolusi Imam Husain as, Dinasti Umayyah akan mengubur agama Islam dalam-dalam dan generasi setelahnya tak akan mengenalnya sama sekali. Melalui tetesan darah sucinya, Imam Husain as menyelamatkan agama Allah. Setiap Muslim sampai hari kiamat akan berhutang budi kepada Imam Husain as.
Siapa Yang Akan Melanjutkan Revolusi Imam Husain as?
Imam Husain as mencetuskan revolusi suci untuk keadilan dan pembebasan empat belas abad yang lalu. Walaupun beliau kalah dalam pertempuran, beliau memenangkan peperangan. Musuh-musuhnya berhasil membunuhnya secara fisik, tetapi mereka tidak bisa membunuh pesan dan ajarannya yang suci. Sepanjang sejarah, banyak yang telah mendapatkan inspirasi dari oleh revolusi Imam Husain as. Diktator yang tak terhitung jumlahnya sepanjang sejarah telah digulingkan oleh para pejuang kemerdekaan yang belajar dari Imam Husain as. Sejarah menceritakan, bahkan tokoh-tokoh seperti Gandhi pun belajar dari Imam Husain as untuk meraih kemenangan. Gandhi diketahui pernah berkata, "Saya belajar dari Husain as bagaimana mencapai kemenangan di dalam penindasan." Namun, orang yang benar-benar akan melanjutkan revolusi Imam Husain as dan mengisi dunia dengan keadilan yang telah diperjuangkan oleh Imam Husain as adalah Imam Mahdi as. Bersama Nabi Isa as, Imam Mahdi as akan mencetuskan revolusi global pada akhir zaman untuk memurnikan bumi dari kejahatan dan ketidakadilan. Berbagai riwayat telah menceritakan bahwa pemerintahan Imam Mahdi akan dibentuk pada hari Asyura, hari dimulainya revolusi Imam Husain as.
Mengapa Imam Husain as bangkit melawan Yazid sementara saudaranya Imam Hassan menerima perjanjian damai dengan ayah Yazid Mu'awiyah?
Ketika Imam Ali as terpilih menjadi khalifah pada tahun 656 Masehi, Mu'awiyah, yang pada saat itu adalah gubernur Damaskus, menolak mengakui kepemimpinannya. Pada saat yang sama, Imam Ali as juga menolak untuk melanjutkan tugas Mu'awiyah sebagai gubernur Damaskus karena dikenal sangat korup. Dalam empat tahun berikutnya, berbagai pertempuran terjadi di antara mereka. Mu'awiyah adalah seorang diktator jahat yang menggunakan segala tipu daya untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Ketika Imam Ali as dibunuh pada tahun 661 Masehi, putra sulungnya Imam Hasan as diangkat sebagai khalifah kaum muslimin menggantikan Ayahnya. Namun, karena tahun perang dan penipuan Mu'awiyah yang terus menerus, Imam Hasan as menyadari bahwa ia tak punya pilihan selain menerima perjanjian damai dengan Mu'awiyah. Untuk memahami mengapa Imam Hasan as menerima perjanjian damai dengan Muawiyah; sementara saudaranya, Imam Husain as, bangkit melawan Yazid anak Mu'awiyah itu, penting untuk menguraikan perbedaan antara Mu'awiyah dan putranya Yazid. Jelas bahwa mereka berdua adalah penguasa jahat yang harus dilawan, tetapi perlawanan terhadap mereka memerlukan metode yang berbeda karena kepribadian mereka yang juga berbeda. Yazid adalah penguasa ceroboh yang tidak menghargai agama dan etika sama sekali. Tak ada satu orangpun yang dia hormati. Dia terus-menerus mengikuti semua keinginan buruknya. Dia melakukan jenis dosa apa saja, tanpa memperhatikan wibawanya yang buruk di mata masyarakat. Dia sering muncul di depan umum dalam keadaan mabuk. Dia sama sekali tidak menghargai hukum Islam. Perzinaan dan inses (perkawinan sedarah) menjadi praktek umum di dalam istananya. Ketika Yazid diangkat sebagai “khalifah” setelah kematian ayahnya, ia memaksa Imam Husain as mengakui kepemimpinannya dan memaksa beliau untuk berbaiat. Namun Imam Husain as tidak mau menandatangani perjanjian dengan Yazid. Jika beliau melakukannya, hal itu berarti beliau mendukung praktek-praktek jahat dan memberi Yazid legitimasi atas semua kejahatannya. Mayoritas kaum muslimin saat itu tahu bahwa Yazid adalah penguasa korup. Dengan demikian, jika Imam Husain as mengakui kepemimpinan Yazid, bahkan jika pengakuan itu dilakukan dalam keadaan terpaksa dan dengan kekerasan, tindakan Imam Husain as tersebut akan dilihat oleh kaum muslimin sebagai tindakan mendukung kepemimpinan Yazid. Pilihan ini jelas tidak mungkin dipilih oleh Imam Husain as. Fokus beliau saat itu adalah bagaimana caranya menyelamatkan agama Islam dengan tidak memberikan legitimasi kepada cara-cara yang anti-Islam dan tidak manusiawi seperti yang telah dilakukan oleh Yazid.
Mu'awiyah dalam hal ini berbeda dengan anaknya Yazid. Bagaimanapun, Muawiyah masih menjaga citranya di hadapan masyarakat. Muawiyah pintar menyembunyikan kelicikannya dengan tidak ingin tampil sebagai orang korup dan berdosa di mata rakyatnya. Oleh karena itu, ketika Imam Hasan as mengetahui sifat korup Mu'awiyah yang sebenarnya, beliau menyadari bahwa melanjutkan pertempuran melawan Mu'awiyah tidak akan bisa menampakkan keinginan licik dia yang sebenarnya. Orang-orang bahkan bisa jadi akan berbalik melawan Imam Hasan as dan menyalahkan beliau untuk pertumpahan darah di medan perang. Sambil menghasut orang-orang untuk berperang, Muawiyah akan bertindak seolah-olah tidak bersalah lalu melemparkan kesalahan itu kepada Imam Hasan as. Ini menjadi buah simalakama bagi Imam Hasan as. Beliau menyadari bahwa jika beliau memenangkan pertempuran, orang akan melihatnya sebagai agresor dan mereka kemudian bersimpati dengan Mu'awiyah. Sebaliknya, jika beliau kalah dalam pertempuran, beliau akan disalahkan karena tidak menerima perjanjian damai. Sebenarnya, Mu'awiyah tidak pernah serius untuk berdamai dengan Imam Hasan as. Muawiyah hanya menggunakan perjanjian damai itu sebagai taktik licik untuk melemahkan Imam Hasan lalu melanjutkan agenda jahatnya. Begitu Imam Hasan as menerima perjanjian damai, nampaklah wajah asli Mu'awiyah yang sebenarnya. Muawiyah tidak menghormati perjanjian itu bahkan menginjak-injak kesepakatan di dalamnya. Tapi inilah yang persis diinginkan oleh Imam Hasan as. Beliau berhasil mengekspos wajah asli Mu'awiyah sebagai tiran yang licik. Orang-orang kemudian menyadari bahwa Mu'awiyah adalah orang fasik. Bagaimana Muawiyah bisa mengutuk perjanjian damai ketika dia sendiri berkampanye untuk itu? Orang-orang akhirnya menyadari bahwa Muawiyah adalah kekuatan tiran lapar yang tidak memiliki prinsip dan aturan. Muawiyah kemudian secara kasat mata terlihat bukan pemimpin yang benar dan didiskualifikasi sebagai penguasa Islam yang sah.
Oleh karena itu, Imam Hasan as maupun Husain as membuat upaya yang luar biasa untuk menyelamatkan Islam, menolak penindasan, dan mengekspos tirani jahat di zaman mereka. Namun karena keadaan mereka yang berbeda, Imam Hasan as menerima perjanjian damai sementara Imam Husain as bangkit dan memimpin revolusi.
Apa arti Asyura?
Asyura dalam bahasa Arab berasal dari akar kata "Asyra," yang berarti sepuluh. Ashura mengacu pada hari kesepuluh bulan Muharram, yang merupakan hari di mana Imam Husain as menemui syahadah. Ini adalah hari berkabung bagi ratusan juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya.
Apakah dianjurkan untuk berpuasa pada hari Asyura?
Puasa adalah ibadah yang sangat dianjurkan sepanjang tahun. Namun, tidak dianjurkan untuk berpuasa pada hari Asyura karena Dinasti Umayyah menyatakan hari itu hari perayaan. Dinasti Umayyahlah yang membuat banyak riwayat palsu yang mengatakan bahwa hari itu adalah hari yang diberkati karena Allah menyelamatkan para nabiNya dan memberi mereka kemenangan. Mereka mengajar orang-orang untuk bersyukur kepada Allah Swt dengan berpuasa di hari Asyura agar mereka leluasa untuk membunuh Imam Husain as pada hari itu. Atau setidaknya orang akan melupakan kejahatan mereka atas pembunuhan sadisnya terhadap cucu Nabi Saw di hari tersebut karena dianggap sebagai hari bergembira. Untuk berempati terhadap Imam Husain as di hari Asyura, memang dianjurkan untuk menjauhkan diri dari makan dan minum selama beberapa waktu pada hari Asyura, karena beliau dan para sahabatnya dibunuh dalam keadaan haus dan lapar. Tetapi tidak disarankan untuk melakukan puasa secara khusus seperti puasa lainnya di hari itu. Ada hari-hari lain sepanjang tahun Islam yang sangat dianjurkan untuk berpuasa, dan berpuasa di hari Asyura bukan salah satunya.
Segelintir orang menyatakan bahwa Syiah yang bertanggung jawab atas kesyahidan Imam Husain as. Apakah itu benar?
Warga Kufah, Irak, mengirim ratusan surat kepada Imam Husain as dan meminta beliau mengunjungi mereka. Mereka juga meminta Imam Husain as menjadi pemimpin mereka. Mereka berjanji bahwa mereka akan menerima Imam Husain as sebagai pemimpin baru dan menolak kepemimpinan Yazid. Namun, gubernur Yazid di Kufah, Ibnu Ziyad yang dikenal bengis dan kejam, mengancam akan memenjarakan dan membunuh siapa saja yang akan mendukung Imam Husain as. Itulah sebabnya, sebagian besar dari mereka yang berjanji untuk mendukung Imam Husain as pada akhirnya mundur. Mereka mengingkari janjinya kepada Imam Husain as dan mengkhianatinya.
Maka muncullah kesalahpahaman bahwa Imam Husain as dibunuh oleh pengikutnya. Jelas tidak demikian faktanya. Pada hari Asyura, ketika Imam Husain as bertanya kepada musuh-musuhnya mengapa mereka ingin membunuhnya, dan kejahatan apa yang beliau telah dilakukan terhadap mereka, beberapa dari mereka menanggapi dengan jawaban, "Karena kami membenci ayahmu." Tak dapat dibayangkan bahwa mereka yang membenci Imam Ali as bisa disebut Syiah dan tak bisa dipahami jika kelompok pembenci Imam Ali as adalah pengikut Imam Husain as. Di antara komandan tentara Yazid, banyak di antara mereka adalah orang-orang yang dikenal kebenciannya terhadap keluarga Nabi Muhammad Saw dan secara khusus kebencian mereka terhadap Imam Ali as.
Bahkan jika kita telaah secara singkat berbagai faksi dan kelompok di Kufah pada saat itu, kita akan mengetahui bahwa tidak semua dari mereka adalah pengikut Imam Husain as. Masyarakat Kufah sebagian besar dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, ada orang-orang yang setia kepada Dinasti Umayyah. Mereka dihidupi oleh pemerintah Yazid sebagai imbalan atas dukungan mereka yang tanpa syarat. Kelompok ini memiliki pengaruh yang kuat di Kufah, karena mereka memiliki akses ke banyak sumber daya dan kekayaan yang melimpah. Kelompok ini terkenal karena permusuhan mereka kepada Imam Husain as. Mereka tidak akan ragu-ragu untuk melawan Imam Husain as untuk menunjukkan kesetiaan dan dukungan mereka kepada Yazid.
Kelompok kedua adalah mereka yang tidak terlalu peduli terhadap kedua kelompok yang berhadap-hadapan itu. Mereka mencintai Imam Husain as dan tahu bahwa beliau akan menjadi pemimpin yang jauh lebih baik daripada Yazid karena mereka telah menyaksikan kekejaman Yazid. Tapi mereka tidak bersedia mengorbankan kepentingannya untuk mendukung Imam Husain as. Mereka hanya berharap bahwa Imam Husain as akan meraih kemenangan atas Yazid bagaimanapun caranya lalu memerintah mereka dengan adil. Mereka merasa takut mempersulit diri dan keluarga mereka sendiri jika mengambil resiko melawan Yazid. Kelompok kedua inilah yang merupakan kelompok terbesar di Kufah. Sekina banyak surat yang diterima Imam Husain as datang dari kelompok ini. Awalnya, mereka berpikir bahwa jika Imam Husain as hanya datang ke Kufah, beliau akan dengan mudah mengambil kekuasaan dan melengserkan Gubernur Yazid. Ketika menjadi jelas bagi mereka bahwa gubernur Yazid akan mengejar dan menghukum mereka jika mendukung Imam Husain as, dan bahwa mendukung Imam Husain as bukanlah tugas yang mudah, mereka akhirnya memilih mundur. Tentu saja kita tidak bisa mengklasifikasikan kelompok kedua ini sebagai pengikut Imam Husain as. Mereka hanya bersimpati kepada Imam Husain as dan lebih menyukai beliau sebagai pemimpin ketimbang Yazid, tapi mereka bukan Syiah.
Kelompok ketiga di Kufah, yang terkecil dan terlemah dalam hal kekuasaan politik dan ekonomi, adalah Syiah dan pengikut Imam Husain as. Banyak dari mereka berusaha untuk mendukung Imam Husain as, dan beberapa dari mereka berhasil mencapai Karbala untuk membela Imam Husain as. Namun, ketika beberapa dari mereka memang melakukan pengkhianatan dengan berlambat-lambat mendukung Imam Husain as, kelompok Syiah ini memang sudah terlambat untuk bergabung dengan gerakan Imam Husain as di Karbala. Contohnya adalah suku Bani Asad. Setelah mendengar bahwa Imam Husain as dikepung di Karbala oleh tentara Yazid, mereka berbaris ke Karbala untuk mendukung beliau. Tetapi ketika mereka tiba Karbala, mereka menyadari bahwa ternyata pertempuran telah berakhir dan Imam Husain as beserta sahabat-sahabatnya telah dipenggal.
Oleh karena itu, tidak benar jika dikatakan bahwa Syiah yang telah membunuh Imam Husain as. Walaupun mereka memang bisa melakukan banyak hal untuk menolong Imam Husain as (tetapi tidak dilakukan atau terlambat dilakukan), tapi mereka tidak bisa dituduh bertanggung jawab atas syahadah Imam Husain as dan pengikutnya. Dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab atas tragedi keji yang menimpa Imam Husain as adalah Dinasti Umayyah bersama seluruh pendukungnya.
Kelompok pembenci pencinta keluarga Nabi mengajukan pertanyaan tentang al-Husain as dan Asyura. Mereka mengira pertanyaan itu kuat dan menjatuhkan. Tapi sesungguhnya mereka mengajukan pertanyaan yang sangat rapuh. Berikut pertanyaan-pertanyaan mereka dan jawabannya oleh Husseini al-Hewa. Diterjemahkan dan diperkaya oleh Ust. Miftah F. Rakhmat.
1. Apakah kalian percaya takdir, qadha dan qadar? Kalau kaupercaya, mengapa kautangisi Al-Husain? Tidakkah itu ketentuan Allah Ta’ala yang ditetapkan padanya. Kalau kau tak percaya takdir, selesailah sudah. Percaya takdir adalah bagian dari keimanan.
Jawaban: Apakah Nabi Allah Ya’qub as percaya takdir, qadha dan qadar? Jika kauberkata, tentu saja. Lalu mengapa ia menangisi kehilangan Nabi Yusuf as hingga memutih kedua matanya. “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya.” (QS. Yusuf [12]:84)
Dan kalau menurutmu Nabi Ya’qub as tidak percaya pada takdir, tidak menerima kehilangan Nabi Yusuf as, maka kau sudah hakimi ia tidak beriman. Astaghfirullah tsumma astaghfirullah. Saudaraku, sesungguhnya iman pada qadha dan qadar tidak meniadakan kesedihan. Kita boleh menampakkan dukacita karena kehilangan orang yang kita cintai. Bersedih karena itu fitriah. Kita semua percaya bahwa kematian pasti terjadi. Kebangkitan pasti terjadi. Semuanya di tangan Allah Swt. Nabi Ya’qub dan para nabi yang lain mencontohkan dukacita ditinggalkan para pecinta. Maka bagaimana kita berduka atas musibah yang untuknya penghulu para nabi saja mencurahkan airmata?
2. Siapakah yang memerintahkanmu untuk memperingati Asyura? Kalau kaubilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kausebutkan Ahlul Bait yang memintamu, akan aku ajukan kau di hadapan mereka, karena mereka tidak pernah melakukan yang kaulakukan. Kalau alasanmu kecintaanmu bagi mereka, maka apakah Ahlul Bait tidak mencintai Al-Husain? Mereka tidak pernah meratap bagi Al-Husain atau melukai diri mereka demi kecintaan itu.
Jawaban: Siapakah yang memerintahkanmu untuk menyusui orang dewasa (ridha’ah al-kabir)? Kalau kau bilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kau sebutkan para sahabat melakukannya, aku minta kau contohkan sahabat yang mana. Kalau kau bilang, kau lakukan itu karena kecintaanmu pada yang mencontohkannya, maka apakah semua sahabat besar itu tidak mencintai yang mencontohkannya hanya karena mereka tidak melakukannya? Isteri-isteri mereka tidak pernah menyusukan orang dewasa di antara kaum Muslimin.
Sahabatku, ratapan untuk Al-Husain adalah kecaman bagi para pembunuhnya. Kecaman atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kutukan atas penistaan terhadap agama yang mereka hinakan. Pakaian hitam adalah tamparan pada setiap pelaku kezaliman. Tamparan bagi Bani Umayyah dan teriakan bahwa Semangat Al-Husain akan tetap abadi sepanjang zaman. Adapun dalil, banyak sekali. Silakan rujuk Wasa’il al-Syiah 14:500 bab 66. Ada puluhan hadits dikumpulkan dari berbagai kitab tentang itu.
3. Apakah jihadnya Al-Husain ke Karbala untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah, kehinaan bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau menurutmu ‘izzah, tidakkah sepantasnya kau berbahagia? Mengapa menangis untuk hari ketika Islam ditegakkan. Kalau kaubilang dzillah, beranikah kausematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Al-Husain?
Jawaban: Apakah jihadnya Hamzah bin Abdul Muthallib di medan Uhud untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah. Kalau kaubilang ‘izzah, mengapa Nabi Saw berduka dan menangisinya. Tidakkah sepantasnya Nabi berbahagia? Mengapa bersedih untuk hari ketika Islam ditegakkan. Berikut hadis ketika Nabi Saw berduka untuk Hamzah: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadis no. 4742; Mustadrak al-Hakim hadis no. 1407, 4891; Mu’jam al-Kabir al-Thabrani juz 11, hadis 1193; Thabaqat Ibn Sa’ad juz 2:44, 3:18, 10:10; Nayl al-Awthar Al-Syaukani 4:153; Al-Bidayah wa al-Nihayah Ibn Katsir 4:55; Al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Katsir 3:95; Usud al-Ghabah Ibn Atsir 2:48; al-Kamil fi al-Tarikh Ibn Atsir 2:163; Tarikh Thabari 2:210…dan masih banyak lagi.
Dengan seluruh riwayat itu, apakah Nabi Saw berduka saat ‘izzah Islam dimuliakan? Kalau kau bilang dzillah, beranikah kau sematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Hamzah bin Abdil Muthallib ra?
Kawanku, berduka untuk kehilangan para tercinta adalah fitrah manusia, kecuali bagi mereka yang keras hatinya. Begitu pula para nabi bersedih. Maka bayangkan kesedihan bila kehilangan para pelanjut kenabian. Bagaimana bila tangisan itu adalah jawaban atas kecintaan pada al-Qurba yang diwasiatkan? Bila Nabi Saw saja menangis sebelum syahadah Al-Husain, bagaimana kita menghadapinya bakda syahadahnya? Ketahuilah, kawanku…tangisan untuk Al-Husain ini sudah ada sepanjang sejarah. Sudah banyak orang berusaha menghentikannya. Tak ada yang berhasil. Tangisan untuk Al-Husain akan memanjang, abadi hingga akhir masa.
4. Untuk apa Al-Husain berjihad? Apa yang ia peroleh dari itu? Kalau kaubilang untuk melawan orang zalim, mengapa ayahnya, Ali bin Abi Thalib tidak melakukan yang sama. Bukankah menurutmu, ia juga dizalimi? Apakah Al-Husain lebih tahu tentang itu dari ayahnya, ataukah ayahnya tak memiliki keberanian seperti Al-Husain? Dan mengapa pula saudaranya Al-Hasan justru memilih berdamai dengan Mu’awiyyah? Dari tiga orang ini: Ali, Al-Hasan, dan Al-Husain, mana yang benar? Mengapa mereka menempuh tiga jalan yang berbeda?
Jawaban: Untuk apa Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah berangkat ke Mu’tah untuk berjihad? Kalau kaubilang untuk melawan orang musyrik, mengapa Nabi Saw sendiri tidak berangkat untuk itu? Mengapa Nabi Saw juga tidak berangkat memerangi musyrikin Makkah? Apakah menurutmu Ja’far, Zaid, dan Abdullah lebih mengetahui dari Rasulullah Saw. Ataukah Nabi Saw tidak cukup berani dan malah berdamai dengan mereka pada Perjanjian Hudaibiyyah? Mengapa pula para sahabat tidak keluar memerangi kaum Musyrikin di negeri-negeri yang lainnya?
Ya Syaikh, sesungguhnya tujuan dasar dan utama Baginda Nabi Saw adalah memelihara dan menjaga Islam dan kaum Muslimin. Kalaulah ada pilihan antara menjaga Islam atau memerangi kaum Musyrikin, Nabi Saw pasti memilih yang pertama. Inilah mengapa Nabi Saw berdamai di Hudaibiyyah. Inilah juga mengapa Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku akan berserah diri, selama selamat urusan kaum Muslimin.” Tapi Ali yang sama, demi menyelamatkan Islam dan kaum Muslimin, berperang di Jamal, Shiffin, dan Nahrawan. Karena sebab yang sama Al-Hasan berdamai dengan Mu’awiyyah, demi Islam dan kaum Muslimin. Atas dasar yang sama pula Al-Husain berjuang dan berperang. Bila tidak karena Islam telah diselewengkan, wajah Islam telah dikaburkan, penguasa Islam hanya mengatasnamakan…bila tidak untuk Islam, takkan Al-Husain dan keluarganya melangkah ke Karbala.
Jawaban: Apakah Nabi Allah Ya’qub as percaya takdir, qadha dan qadar? Jika kauberkata, tentu saja. Lalu mengapa ia menangisi kehilangan Nabi Yusuf as hingga memutih kedua matanya. “Dan Ya’qub berpaling dari mereka (anak-anaknya) seraya berkata: “Aduhai duka citaku terhadap Yusuf,” dan kedua matanya menjadi putih karena kesedihan dan dia adalah seorang yang menahan amarahnya.” (QS. Yusuf [12]:84)
Dan kalau menurutmu Nabi Ya’qub as tidak percaya pada takdir, tidak menerima kehilangan Nabi Yusuf as, maka kau sudah hakimi ia tidak beriman. Astaghfirullah tsumma astaghfirullah. Saudaraku, sesungguhnya iman pada qadha dan qadar tidak meniadakan kesedihan. Kita boleh menampakkan dukacita karena kehilangan orang yang kita cintai. Bersedih karena itu fitriah. Kita semua percaya bahwa kematian pasti terjadi. Kebangkitan pasti terjadi. Semuanya di tangan Allah Swt. Nabi Ya’qub dan para nabi yang lain mencontohkan dukacita ditinggalkan para pecinta. Maka bagaimana kita berduka atas musibah yang untuknya penghulu para nabi saja mencurahkan airmata?
2. Siapakah yang memerintahkanmu untuk memperingati Asyura? Kalau kaubilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kausebutkan Ahlul Bait yang memintamu, akan aku ajukan kau di hadapan mereka, karena mereka tidak pernah melakukan yang kaulakukan. Kalau alasanmu kecintaanmu bagi mereka, maka apakah Ahlul Bait tidak mencintai Al-Husain? Mereka tidak pernah meratap bagi Al-Husain atau melukai diri mereka demi kecintaan itu.
Jawaban: Siapakah yang memerintahkanmu untuk menyusui orang dewasa (ridha’ah al-kabir)? Kalau kau bilang Allah dan RasulNya, aku tuntut darimu mana dalilnya. Kalau kaukatakan tak seorang pun menyuruhmu, maka kau terjatuh pada bid'ah yang keliru. Kalau kau sebutkan para sahabat melakukannya, aku minta kau contohkan sahabat yang mana. Kalau kau bilang, kau lakukan itu karena kecintaanmu pada yang mencontohkannya, maka apakah semua sahabat besar itu tidak mencintai yang mencontohkannya hanya karena mereka tidak melakukannya? Isteri-isteri mereka tidak pernah menyusukan orang dewasa di antara kaum Muslimin.
Sahabatku, ratapan untuk Al-Husain adalah kecaman bagi para pembunuhnya. Kecaman atas kejahatan kemanusiaan yang mereka lakukan. Kutukan atas penistaan terhadap agama yang mereka hinakan. Pakaian hitam adalah tamparan pada setiap pelaku kezaliman. Tamparan bagi Bani Umayyah dan teriakan bahwa Semangat Al-Husain akan tetap abadi sepanjang zaman. Adapun dalil, banyak sekali. Silakan rujuk Wasa’il al-Syiah 14:500 bab 66. Ada puluhan hadits dikumpulkan dari berbagai kitab tentang itu.
3. Apakah jihadnya Al-Husain ke Karbala untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah, kehinaan bagi Islam dan kaum Muslimin. Kalau menurutmu ‘izzah, tidakkah sepantasnya kau berbahagia? Mengapa menangis untuk hari ketika Islam ditegakkan. Kalau kaubilang dzillah, beranikah kausematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Al-Husain?
Jawaban: Apakah jihadnya Hamzah bin Abdul Muthallib di medan Uhud untuk menegakkan ‘izzah Islam dan kaum Muslimin? Ataukah dzillah. Kalau kaubilang ‘izzah, mengapa Nabi Saw berduka dan menangisinya. Tidakkah sepantasnya Nabi berbahagia? Mengapa bersedih untuk hari ketika Islam ditegakkan. Berikut hadis ketika Nabi Saw berduka untuk Hamzah: Musnad Imam Ahmad bin Hanbal hadis no. 4742; Mustadrak al-Hakim hadis no. 1407, 4891; Mu’jam al-Kabir al-Thabrani juz 11, hadis 1193; Thabaqat Ibn Sa’ad juz 2:44, 3:18, 10:10; Nayl al-Awthar Al-Syaukani 4:153; Al-Bidayah wa al-Nihayah Ibn Katsir 4:55; Al-Sirah al-Nabawiyyah li Ibn Katsir 3:95; Usud al-Ghabah Ibn Atsir 2:48; al-Kamil fi al-Tarikh Ibn Atsir 2:163; Tarikh Thabari 2:210…dan masih banyak lagi.
Dengan seluruh riwayat itu, apakah Nabi Saw berduka saat ‘izzah Islam dimuliakan? Kalau kau bilang dzillah, beranikah kau sematkan ‘penghina’ Islam dan kaum Muslimin pada Hamzah bin Abdil Muthallib ra?
Kawanku, berduka untuk kehilangan para tercinta adalah fitrah manusia, kecuali bagi mereka yang keras hatinya. Begitu pula para nabi bersedih. Maka bayangkan kesedihan bila kehilangan para pelanjut kenabian. Bagaimana bila tangisan itu adalah jawaban atas kecintaan pada al-Qurba yang diwasiatkan? Bila Nabi Saw saja menangis sebelum syahadah Al-Husain, bagaimana kita menghadapinya bakda syahadahnya? Ketahuilah, kawanku…tangisan untuk Al-Husain ini sudah ada sepanjang sejarah. Sudah banyak orang berusaha menghentikannya. Tak ada yang berhasil. Tangisan untuk Al-Husain akan memanjang, abadi hingga akhir masa.
4. Untuk apa Al-Husain berjihad? Apa yang ia peroleh dari itu? Kalau kaubilang untuk melawan orang zalim, mengapa ayahnya, Ali bin Abi Thalib tidak melakukan yang sama. Bukankah menurutmu, ia juga dizalimi? Apakah Al-Husain lebih tahu tentang itu dari ayahnya, ataukah ayahnya tak memiliki keberanian seperti Al-Husain? Dan mengapa pula saudaranya Al-Hasan justru memilih berdamai dengan Mu’awiyyah? Dari tiga orang ini: Ali, Al-Hasan, dan Al-Husain, mana yang benar? Mengapa mereka menempuh tiga jalan yang berbeda?
Jawaban: Untuk apa Ja’far bin Abi Thalib, Zaid bin Haritsah, dan Abdullah bin Rawahah berangkat ke Mu’tah untuk berjihad? Kalau kaubilang untuk melawan orang musyrik, mengapa Nabi Saw sendiri tidak berangkat untuk itu? Mengapa Nabi Saw juga tidak berangkat memerangi musyrikin Makkah? Apakah menurutmu Ja’far, Zaid, dan Abdullah lebih mengetahui dari Rasulullah Saw. Ataukah Nabi Saw tidak cukup berani dan malah berdamai dengan mereka pada Perjanjian Hudaibiyyah? Mengapa pula para sahabat tidak keluar memerangi kaum Musyrikin di negeri-negeri yang lainnya?
Ya Syaikh, sesungguhnya tujuan dasar dan utama Baginda Nabi Saw adalah memelihara dan menjaga Islam dan kaum Muslimin. Kalaulah ada pilihan antara menjaga Islam atau memerangi kaum Musyrikin, Nabi Saw pasti memilih yang pertama. Inilah mengapa Nabi Saw berdamai di Hudaibiyyah. Inilah juga mengapa Ali bin Abi Thalib as berkata, “Aku akan berserah diri, selama selamat urusan kaum Muslimin.” Tapi Ali yang sama, demi menyelamatkan Islam dan kaum Muslimin, berperang di Jamal, Shiffin, dan Nahrawan. Karena sebab yang sama Al-Hasan berdamai dengan Mu’awiyyah, demi Islam dan kaum Muslimin. Atas dasar yang sama pula Al-Husain berjuang dan berperang. Bila tidak karena Islam telah diselewengkan, wajah Islam telah dikaburkan, penguasa Islam hanya mengatasnamakan…bila tidak untuk Islam, takkan Al-Husain dan keluarganya melangkah ke Karbala.